Nilai Rupiah Menguat Tajam, Ini Faktor Pendorongnya
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Agung Sedayu
Senin, 16 Januari 2023 16:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam perdagangan sore, mata uang rupiah ditutup menguat tajam 103 poin, meski sempat menguat 150 poin di level Rp 15.045 dari penutupan sebelumnya di level Rp 15.148. Sedangkan untuk perdagangan besok, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah dibuka berfluktuatif namun ditutup menguat direntang Rp 15.010 sampai Rp 15.100.
Baca juga : Bank Indonesia Sampaikan Perkembangan Stabilitas Nilai Rupiah
Ibrahim menjelaskan sejumlah faktor yang mendorong penguatan Rupiah. Di antaranya, indeks dolar melemah pada hari ini, Senin, 16 Januari 2023. "Dolar melemah terhadap mata uang lainnya, karena terhibur oleh prospek kenaikan suku bunga yang lebih kecil oleh Federal Reserve," tutur Ibrahim melalui keterangan tertulis pada Senin, 16 Januari 2023.
Sementara spekulasi atas langkah hawkish lainnya oleh Bank of Japan dan Imbal hasil obligasi 10 tahun Jepang, tuturnya, naik di atas batas atas 0,5 persen yang ditetapkan oleh BOJ untuk hari kedua berturut-turut.
Lebih lanjut, data menunjukkan harga konsumen Amerika Serikat turun untuk pertama kalinya dalam lebih dari 2,5 tahun pada Desember 2022. Dengan inflasi puluhan tahun di ekonomi terbesar dunia yang menunjukkan tanda-tanda pendinginan, menurut Ibrahim, investor sekarang semakin yakin bahwa Fed mendekati akhir siklus kenaikan suku bunga. Investasi juga meyakini suku bunga tidak akan setinggi yang dikhawatirkan sebelumnya.
Baca juga : Harga Emas Melonjak, Tertinggi dalam Sembilan Bulan Terakhir
Selain itu, Ibrahim mengatakan pasar sekarang memposisikan diri untuk langkah serupa dari BOJ pekan ini. Mengingat tren inflasi di Indonesia sedang di level tertinggi yaitu 40 tahun. Data inflasi indeks harga produsen pada Senin menunjukkan bahwa harga gerbang pabrik tumbuh lebih dari yang diharapkan pada Desember. Sementara pada pembacaan November juga direvisi lebih tinggi. Namun, ia memperkirakan BOJ akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada level yang sangat rendah.
Bank Rakyat Tiongkok pun mempertahankan suku bunga pinjaman jangkanya. Tetapi bank sentral juga menyuntikkan lebih banyak likuiditas ke pasar untuk menopang pertumbuhan ekonomi, karena negara itu bergulat dengan wabah Covid-19. Namun, pasar memposisikan diri untuk pemulihan ekonomi di negara itu setelah mulai melonggarkan sebagian besar pembatasan anti-Covid pada bulan Desember.
Di sisi lain surplus neraca perdagangan sebesar US$ 54,46 miliar atau Rp 816,9 triliun sangat signifikan jika dibandingkan dengan capaian surplus sepanjang 2021 yang tercatat sebesar US$ 35,34 miliar. Angka tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Berdasarkan data BPS, surplus neraca perdagangan terus meningkat sejak tahun 2020. Saat itu, surplus kumulatif mencapai US$ 21,74 miliar. Adapun pada tahun 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,29 miliar, sedangkan tahun 2018 juga tercatat defisit sebesar US$ 8,7 miliar.
Baca juga : Rupiah Lanjutkan Penguatan, Berada di Level Rp 15.338 per Dolar AS
Sementara itu, ekspor non-Migas secara kumulatif sepanjang 2022 tercatat sebesar US$275,96 triliun, meningkat sebesar 25,80 persen. Sejalan dengan itu, ekspor Migas juga mengalami peningkatan yang signifikan sebesar 30,82 persen menjadi US$ 16,02 triliun.
Berdasarkan pangsanya, ekspor non-Migas terbesar yaitu pada bahan bakar mineral yang mencapai US$ 54,98 miliar atau dengan pangsa 19,92 persen. Sementara itu, impor Indonesia sepanjang 2022 tercatat mencapai US$ 237,52 miliar, meningkat sebesar 21,07 persen dibandingkan periode 2021.
Secara bersamaan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 392,6 miliar pada November 2022. Nilai tersebut meningkat jika dibandingkan dengan posisi pada Oktober 2022 yang tercatat sebesar US$ 390,2 miliar.
Jika dibandingkan dengan November 2021, posisi ULN Indonesia mengalami kontraksi sebesar 5,6 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 7,6 persen yoy. Posisi ULN Pemerintah pada November 2022 tercatat sebesar US$ 181,6 miliar, mengalami kontraksi 10,2 persen yoy, lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 12,3 persen yoy.
Menirut Ibrahim, perkembangan ULN tersebut disebabkan oleh sentimen positif kepercayaan pelaku pasar global yang tetap terjaga sehingga mendorong investor asing kembali menempatkan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini