Kejar Target Penurunan Emisi Karbon, Keamanan Pasokan Energi dan Keterjangkauan Jadi PR Besar
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 8 November 2022 17:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah terus berupaya menekan emisi gas rumah kaca demi mengejar target enchanced nationally determined contribution (ENDC) pada 2030. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyiapkan lima program.
Pertama, program pengembangan energi baru dan terbarukan. Kedua, program implementasi efisiensi energi. Ketiga, mereduksi penggunaan energi fosil.
“Kami menggunakan low carbon cure. Contohnya menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi yang lebik. Kami juga menggantikan bahan bakar fosil dan mengkonversinya dengan LPG,” ujar Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, dalam agenda COP27 di Mesir, 7 November 2022.
Program keempat, yakni pengoptimalan teknologi bersih karbon atau clean coal technology. Yakni dengan menggunakan standarisasi teknologi, dalam hal ini menggunakan support critical coal power plan. Program terakhir, lanjut Dadan, yakni gasifikasi hingga mereklamasi temat-tempat pertambangan.
Dadan optimitis program-program tersebut efektif mengurangi emisi gas rumah kaca. Adapun target yang diterapkan pemerintah untuk ENDC yakni menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri pada tahun 2030. Namun, dengan bantuan global, pemerintah menargetkan capaian 43,20 persen pada tahun yang sama.
Hadir dalam forum yang sama, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, mengatakan bahwa pihaknya akan mempercepat pengembangan energi terbarukan untuk transisi energi. Di antaranya dengan memanfaatkan energi solar atau matahari.
“Kami akan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Kami memanfaatkan energi matahar, energi panas bumi, tenaga air, kami memanfaatkan setiap potensi sumber energi terbarukan,” kata Darmawan.
Darmawan mengatakan sebagaimana dalam RUPTL 2021-2030, untuk mempercepat pembangunan pembangkit energi baru terbarukan, PLN akan menambah pembangkit EBT dengan kapasitas mencapai 20,9 GW atau setara 51,6 persen dari kapasitas total.
“Kami juga mengembangkan ekosistem EV (electric vehicle) dengan menyediakan stasiun pengisian kendaraan listrik, EV digital system, juga bekerja sama dengan Himbara (himpunan bank negara) untuk menyediakan pembiayaan EV yang murah,” kata Darmawan.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengingatkan bahwa dalam menuju transisi energi, ada dua aspek penting yang mesti dipenuhi. Yakni aspek pasokan yang aman serta keterjangkauan. Menurutnya, kedua hal tersebut merupakan hal pokok yang dibutuhkan masyarakat.
“Jika kita mau transisi tapi pasokan tidak aman dan tidak terjangkau, tidak akan berhasil,” ujar Herman. Oleh sebab itu, dia mengatakan perlu ada skenario yang disiapkan jika pemerintah gagal merealisasikan project tersebut, yakni kembali ke energi fosil batu bara.
Di samping itu, lanjut Herman, target pemerintah mencapai transisi energi pada 2045 juga tidak realistis. Sebab jika harus mengganti energi batu bara dengan sumber energi terbarukan solar atau matahari, daya yang dibutuhkan setidaknya 5 GW. Selain itu juga dibutuhkan storage yang saat ini harganya masih mahal.
“Saya pikir kita tidak bisa segera mengejar semuanya. Kita masih membutuhkan batu bara sampai kita mencapai emisi pada puncaknya,” ucap Herman.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini