Pengusaha Mengeluhkan Kenaikan Suku Bunga, Minta Pemerintah Turunkan PPN

Sabtu, 22 Oktober 2022 11:42 WIB

Suasana pertokoan di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu, 5 Agutus 2020. Aktivitas perbelanjaan di pusat perdagangan tekstil terbesar se-Asia Tenggara ini masih relatif sepi dibanding saat sebelum pandemi.Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pengusaha mengaku mulai merasa terbebani setelah suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate naik 50 basis poin. Bank Indonesia sebelumnya mengerek suku bunga dari 4,25 persen menjadi 4,75 persen per Oktober 2022.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan mulainya pengusaha mendukung kenaikan suku bunga untuk menjaga stabilisasi rupiah dan menjangkar inflasi yang terus naik. Namun kini, kenaikan 50 basis poin itu dirasa terlalu tinggi karena dibarengi tengah tekanan terhadap perekonomian global.

"Repotnya kebijakan moneter yang secara marathon menaikkan suku bunga acuan dari Agustus sebesar 25 basis poin, dilanjutkan September 50 basis poin, kembali dinaikkan 50 basis poin lagi," kata Ajib saat dihubungi pada Sabtu, 22 Oktober 2022.

Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan itu menganggap, kebijakan BI yang terus menerus menaikkan suku bunga acuan bakal mengurangi likuiditas yang beredar di masyarakat. Selain itu, kebijakan tersebut berpotensi memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Pengusaha akan membuat penyesuaian-penyesuaian proyeksi sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Risiko kebijakan ini akan terjadi pelambatan ekonomi," ujar Ajib.

Advertising
Advertising

Tren suku bunga acuan yang terus menanjak seiring dengan pemulihan ekonomi, kata Ajib akan memberikan risiko lain terhadap industri jasa keuangan di Indonesia. Misalnya, naiknya tingkat kredit macet.

Baca juga: BI Sebut Pertumbuhan Kredit Masih Tinggi Meski Suku Bunga Acuan Dinaikkan, Ini Buktinya

"Selain market dan daya beli masyarakat akan turun, risiko lainnya ada di peningkatan kredit macet. Kecuali pemerintah membuat program kelonggaran kredit dalam bentuk perpanjangan restrukturisasi," ujar Ajib.

Sebenarnya, kata Ajib, pengusaha mengakui bahwa BI sudah mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi berbagai dampak tingginya tingkat suku bunga acuan itu. Contohnya melalui perpanjangan relaksasi uang muka kredit atau DP 0 persen untuk sektor properti dan kendaraan bermotor. Dua sektor itu memiliki dampak rembetan yang paling panjang ke perekonomian.

"Program kebijakan ini relatif membantu menopang daya beli sektor properti dan kendaraan bermotor," ujarnya.

Kendati begitu, Ajib menilai, langkah BI itu tidak cukup menopang laju pertumbuhan ekonomi yang baru bangkit ke level di atas 5 persen. Menurut dia, pemerintah perlu berkontribusi mengeluarkan kebijakan relaksasi dari sisi fiskal, seperti menurunkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk menjaga konsumsi. PPN yang berlaku saat ini adalah 11 persen atau naik 10 persen dari aturan sebelumnya.

"Kalau masih ada ruang fiskal, bisa juga kembali diberikan pengurangan pajak PPN, agar mengurangi kenaikan harga yang eskalatif," ujarnya.

<!--more-->

Selain itu, ia meminta pemerintah perlu mengakselerasi belanja negara dari. Per September, belanja pemerintah baru terserap Rp 1.361,2 triliun dari target Rp 2.301,6 triliun.

"Harapan dunia usaha, terjadi akselerasi belanja pemerintah untuk memberikan daya ungkit maksimal pada kuartal terakhir 2022 ini dan pencapaian investasi sesuai target," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan nilai suku bunga saat ini sudah di ambang cukup bagi pengusaha. Apabila lebih dari 4,25 persen, dikhawatirkan akan berdampak pada kinerja usaha yang saat ini sudah tertekan akibat permintaan ekspor yang menurun.

“Kita berharapnya tidak naik lagi, ini sudah cukup. Nanti biaya modalnya naik juga, situasinya lagi nggak bagus juga, ekspor lagi drop,” kata Hariyadi.

Naiknya suku bunga acuan itu besar kemungkinan akan ditransmisikan oleh pelaku perbankan dalam bentuk penyesuaian bunga simpanan maupun bunga kredit. Hal itu lah yang dikhawatiran pengusaha, karena kenaikan suku bunga acuan akan menyebabkan suku bunga di perbankan ikut terkerek naik di tengah kondisi perdagangan yang tidak baik.

Hariyadi menyampaikan saat ini pasar ekspor sedang menurun, salah satunya untuk produk tekstil dan sepatu yang pemesanannya turun hingga 50 persen akibat kondisi ekonomi global.

“Kalau bisa ya jangan ada kenaikan lagi dari BI. Kemarin kami masih support, naik gapapa di 4,25 (persen). Sekarang situasi market-nya, terutama ekspor lagi nggak bagus, yang bagus hanya sektor tertentu seperti minyak sawit dan batu bara,” tuturnya.

ARRIJAL RACHMAN | BISNIS

Baca juga: Sri Mulyani: Risiko Sudah Beralih dari Pandemi ke Gejolak Ekonomi dan Keuangan

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Terkini Bisnis: Cek Syarat Pendaftaran CPNS Polsuspas, Harta Kekayaan Dirjen Bea Cukai Askolani

1 hari lalu

Terkini Bisnis: Cek Syarat Pendaftaran CPNS Polsuspas, Harta Kekayaan Dirjen Bea Cukai Askolani

Syarat pendaftaran CPNS Kepolisian Khusus Pemasyarakatan (Polsuspas) yang banyak diminati oleh para pelamar dari seluruh Indonesia.

Baca Selengkapnya

Jadi Sorotan, Ternyata Segini Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai

1 hari lalu

Jadi Sorotan, Ternyata Segini Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai

Pegawai Direktorat Jenderal Bea Cukai disorot usai banyak kritikan terkait kinerjanya. Berapa gajinya?

Baca Selengkapnya

Zulhas Cerita Panjang Lebar soal Alasan Permendag Tak Lagi Batasi Barang Bawaan dari Luar Negeri

1 hari lalu

Zulhas Cerita Panjang Lebar soal Alasan Permendag Tak Lagi Batasi Barang Bawaan dari Luar Negeri

Mendag Zulhas bercerita panjang lebar soal alasan merevisi Permendag Nomor 36 Tahun 2024 soal pengaturan impor.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

2 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

2 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Segini Harta Kekayaan Dirjen Bea Cukai Askolani yang Juga Menjabat Komisaris BNI

2 hari lalu

Segini Harta Kekayaan Dirjen Bea Cukai Askolani yang Juga Menjabat Komisaris BNI

Dirjen Bea dan Cukai Askolani menjadi sorotan karena memiliki harta Rp 51,8 miliar

Baca Selengkapnya

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

2 hari lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Pria Sobek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai, BTN Didemo karena Uang Nasabah Hilang

2 hari lalu

Terpopuler: Pria Sobek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai, BTN Didemo karena Uang Nasabah Hilang

Terpopuler bisnis: Pria menyobek tas Hermes di depan petugas Bea Cukai karena karena diminta bayar Rp 26 juta, BTN didemo nasabah.

Baca Selengkapnya

Viral Pria Robek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai Karena Tolak Bayar Pajak: Saya Gak Terima..

3 hari lalu

Viral Pria Robek Tas Hermes di Depan Petugas Bea Cukai Karena Tolak Bayar Pajak: Saya Gak Terima..

Viral seorang pria yang merobek tas Hermes mewah miliknya di depan petugas Bea Cukai. Bagaimana duduk persoalan sebenarnya?

Baca Selengkapnya

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

3 hari lalu

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

Data inflasi bulan April dinilai bisa memberikan sentimen positif untuk rupiah bila hasilnya masih di kisaran 3,0 persen year on year.

Baca Selengkapnya