Risiko Resesi Global Meningkat, Bos IMF: Dukungan Fiskal Harus Tepat Sasaran
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 11 Oktober 2022 11:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bos Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) kembali memperingatkan peningkatan risiko resesi global karena pertumbuhan ekonomi negara maju melambat dan inflasi bergerak yang lebih cepat. Kondisi-kondisi ini yang kemudian memaksa The Federal Reserve (The Fed) terus menaikkan suku bunga serta menambah tekanan utang pada negara-negara berkembang.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva menyebutkan, Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar di dunia, pasar tenaga kerjanya masih sangat kuat tetapi kehilangan momentum. "Karena dampak dari biaya pinjaman yang lebih tinggi 'mulai menggigit', ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa, 11 Oktober 2022.
Tak hanya di Amerika Serikat, kata Georgieva, roda perekonomian di wilayah Eropa melambat karena harga gas alam melonjak. Ekonomi Cina pun melambat karena kebijakan zero Covid policy dan volatilitas di sektor perumahan.
Baca: Jokowi Sebut Perekonomian Global Tahun Depan Gelap, Apa itu Resesi Ekonomi?
Georgieva menjelaskan, IMF telah menghitung bahwa sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami kontraksi setidaknya dua kuartal berturut-turut tahun ini dan tahun depan. Ia memperkirakan perekonomian dunia bakal merugi hingga US$ 4 triliun hingga 2026.
Pada saat yang sama, menurut dia, pembuat kebijakan tidak dapat membiarkan inflasi menjadi 'kereta pelarian'.
"Jika Anda tidak melakukan (kebijakan) cukup, kami dalam masalah," kata Georgieva pada acara virtual yang memulai pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, Senin, 10 Oktober 2022.
Oleh karena itu, Georgieva menekankan bahwa dukungan fiskal harus tepat sasaran agar tidak memicu inflasi. Ia pun menilai dunia perlu membantu negara-negara berkembang dan berkembang sangat terpukul oleh pengetatan kondisi keuangan.
Selanjutnya: Presiden Bank Dunia menyebutkan 'bahaya nyata' dari kontraksi di seluruh dunia.
<!--more-->
Sementara itu, Presiden Bank Dunia David Malpass ketika berbicara dengan Georgieva, memperingatkan bahwa ada 'bahaya nyata' dari kontraksi di seluruh dunia pada 2023. "Kekuatan dolar AS melemahkan mata uang negara-negara berkembang, meningkatkan utang mereka ke tingkat yang 'membebani'", ucap Malpass.
Pada sebuah acara yang digelar Senin malam, Georgieva mengatakan IMF memperkirakan bahwa ada kekurangan US$ 9 miliar dalam cakupan neraca pembayaran untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah. Program IMF yang diluncurkan bulan lalu dari pembiayaan darurat akan membantu memenuhi kebutuhan itu.
Dalam percakapan luas dengan perwakilan dari kelompok masyarakat sipil, Georgieva mengatakan dewan IMF akan melakukan peninjauan kuota, atau memperbarui porsi dana yang lebih besar kepada negara berkembang. "Proses itu akan selesai pada Desember 2023. Sangat penting untuk menjaga kredibilitas dana tersebut," tuturnya.
Lebih jauh, Georgieva juga mengatakan IMF akan membahas biaya tambahan atau komisi yang dibebankan kepada negara-negara yang menggunakan jalur kredit pemberi pinjaman secara ekstensif sebagai bagian dari pembicaraan tentang fasilitas pencegahannya pada Desember.
Biaya tambahan, kata Georgieva, akan diterapkan kepada negara-negara berpenghasilan menengah untuk menghindari pinjaman berlebihan.
Soal ini, beberapa negara berkembang dan pemenang hadiah Nobel Joseph Stiglitz berpendapat IMF seharusnya menghilangkan biaya tambahan tersebut. Pasalnya, hal ini dinilai tidak adil pada negara-negara yang tengah berjuang menghadapi krisis.
BISNIS
Baca juga: IMF Sebut Ekonomi Gelap, Kerugian karena Resesi Bisa Tembus USD 4 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.