Sri Mulyani Ungkap Alasan Defisit APBN Tak Lagi Boleh Lebih dari 3 Persen Meski Krisis Berlanjut
Reporter
Arrijal Rachman
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 7 September 2022 14:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan alasan pemerintah berusaha konsisten mengembalikan defisit fiskal menjadi di bawah 3 persen pada 2023. Alasan tersebu selain karena adanya amanat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020.
Menurut Sri Mulyani, kondisi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus dinormalkan dari yang pada 2020 menembus 6,09 persen. Dengan begitu, kepercayaan pelaku pasar keuangan global---termasuk investor----tetap terjaga, meskipun dunia dalam kondisi krisis.
Kondisi krisis yang menyebabkan ketidakpastian itu dipicu oleh harga-harga komoditas yang meningkat pesat karena permasalahan pasokan. Beragam krisis yang muncul adalah krisis pangan, krisis energi, hingga krisis utang, yang menyebabkan banyak negara berpotensi bangkrut.
"Ini adalah sesuai dengan task force yang dibuat oleh PBB di mana mereka mengidentifikasi suasana dan situasi tantangan global ini akan berpotensi kepada tiga area krisis," kata Sri Mulyani dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Rabu, 7 September 2022.
Akibat krisis ini, maka harga sejumlah barang dan jasa melonjak di saat ekonomi belum pulih. Hal tersebut ditandai dengan tingginya tingkat inflasi di berbagai negara, naiknya suku bunga acuan bank sentral, hingga keluarnya aliran modal dari negara-negara emerging market.
"Karena adanya likuiditas yang mengetat, ya memang seharusnya kita mengurangi kemungkinan gejolak itu yang bisa berimbas ke ekonomi dengan mengurangi defisit," ujar Sri Mulyani.
Selanjutnya: "Tidak ada alasan pemerintah terus melonggarkan defisit APBN tahun depan."
<!--more-->
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyatakan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk terus melonggarkan defisit APBN mulai tahun depan. Sebab, jika defisit tidak terus diturunkan dan dijaga pada tingkat yang rendah, maka pelaku pasar melihat Indonesia sebagai negara yang kekurangan pembiayaan.
"Sehingga kita kemudian terlihat di market harus melakukan financing apalagi financing-nya sampai desperate, maka kita pasti akan terkena hit dengan cost of fund-nya yang sangat tinggi, pasti akan juga dilihat dari sisi rating dimana nantinya Indonesia dianggap vulnerable," kata dia.
Oleh sebab itu, banyak negara saat ini mulai mengalami potensi gagal bayar utang-utangnya, akibat tingginya bunga yang harus dibayarkan. Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun sudah mengatakan sebelumnya ada 107 negara yang masuk dalam kondisi krisis dan sebagiannya bakal bangkrut.
"Mereka itu harus membayar biaya yang luar biasa sangat tinggi. Jadi dalam hal ini sebetulnya sesuatu yang justru kita sedang mengelola sebuah risiko baru sesudah pandemi itu, yaitu dari tadinya risiko kesehatan sekarang menjadi risiko keuangan," ucap Sri Mulyani.
Baca: BI Sebut Stagflasi Akan Terus Mengemuka: Inflasi Tinggi, Ekonomi Tertekan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.