Harga BBM Naik, Indef Ungkap Kemungkinan Terburuk Gelombang PHK di Sektor Industri
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 6 September 2022 09:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Develepment of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menyebut kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri bakal marak. Hal tersebut merupakan salah satu imbas kenaikan harga BBM sejak Sabtu pekan lalu.
Menurut Abra, kenaikan harga BBM bisa bakal mengerek kenaikan biaya produksi dan pada gilirannya memicu lonjakan harga produk. Kenaikan harga produk ini akan direspons cukup sensitif oleh konsumen dengan mengurangi daya konsumsi.
Selain itu, kenaikan harga BBM juga dirasakan oleh kalangan industri. “Karena harga produk naik, omzet bisa menurun. Otomatis, perusahaan yang alami penurunan penjualan pada akhirnya akan melakukan efisiensi,” tutur Abra ketika dihubungi.
Sedangkan, menurut dia, peluang perusahaan untuk berhemat makin sempit. Efisiensi biaya produksi sudah tidak mungkin dan peluang mengurangi kapasitas produksi juga kian terbatas. “Langkah terakhir, melakukan efisiensi dari sisi jumlah pekerja. Itu risiko paling serius yang perlu diwaspadai pemerintah,” kata Abra.
Pasalnya, menurut dia, jika terjadi PHK, maka kelompok pekerja itu akan beralih status menjadi pengangguran. “Apakah pemerintah sudah menyapkan skenario, kebijakan untuk bisa mengakomodir para pekerja yang nantinya masuk ke jurang pengangguran? Ini yang perlu dievaluasi pemerintah,” ucap Abra.
Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar pada Sabtu, 3 September 2022. Harga Pertalite yang semula Rp 7.650, kini menjadi Rp 10.000 per liter. Sementara harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Sementara Pertamax juga turut naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Selanjutnya: Alasan kenaikan harga BBM di kala harga minyak mentah turun.
<!--more-->
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan penyebab kenaikan harga bahan BBM subsidi, khususnya yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) di tengah turunnya harga minyak dunia. Pasalnya, dalam hitungan pemerintah, beban subsidi dan kompensasi akan tetap membengkak di atas Rp 502,4 triliun.
Ia menjelaskan, kenaikan ini ditetapkan karena berdasarkan perhitungan yang telah dilakukannya, sekalipun harga minyak mentah dunia mengalami penurunan, besarannya tidak akan cukup untuk meredam jebolnya anggaran subsidi dan kompensasi energi.
Anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah kini telah naik sampai Rp 502,4 triliun dari awalnya Rp 152,5 triliun. Terdiri dari susbidi untuk BBM dan LPG dari Rp 77,5 triliun menjadi Rp 149,4 triliun, listrik Rp 56,5 triliun ke Rp 59,6 triliun.
"Dan kompensasi BBM dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 252,5 triliun serta kompensasi listrik naik dari Rp 0 jadi Rp 41 triliun sehingga total subsidi dan kompensasi untuk BBM, LPG, listrik itu menapai Rp 502,4 triliun," kata Sri Mulyani, 3 September 2022.
RIRI RAHAYU | ARRIJAL RACHMAN
Baca: Biayai Bansos dan Subsidi Transportasi Umum, Pemda Wajib Alokasikan 2 Persen Dana Transfer Umum
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.