Energy Watch Usul Pemerintah Reformasi Subsidi Pertalite dan Solar
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 30 Agustus 2022 13:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Pengamat dari Energy Watch Mamit Setiawan menanggapi wacana pemerintah untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Karena sudah membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN dan tidak tepat sasaran.
Menurut Mamit subsidi BBM saat ini kontrapoduktif karena justru memperlebar jurang kesenjangan sosial antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Dia menjelaskan subsidi BBM menjadi mubazir karena tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan penggunaannya banyak dimanfaatkan masyarakat mampu.
“Sudah cukup kita membakar dana APBN kita di jalan raya, kita bisa memanfaatkan APBN kita di sektor produktif," ujar dia lewat keterangan tertulis pada Selasa, 30 Agustus 2022.
Mamit mengatakan penyesuaian harga BBM subsidi harus dijelaskan dengan baik kepada masyarakat karena kondisi Indonesia saat ini bukan lagi sebagai net eksportir BBM melainkan sudah menjadi net importir. Nilai impor Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara produksi hanya 600 ribu barel per hari, belum lagi pengaruh nilai tukar rupiah dengan dolar.
“Sehingga nilai rupiah kita bisa terdepresiasi lebih dalam. Ini yang harus dipahami masyarakat bahwa kita tidak lagi produsen minyak dunia, produksi minyak kita kurang dari setengah nilai konsumsi bbm kita,” kata Mamit.
Dia mengusulkan mekanisme subdisi BBM yang tidak tepat sasaran harus segera diubah agar yang menikmati subsidi adalah mereka yang memang membutuhkan. Mamit juga menilai harus segera dilakukan reformasi subsidi BBM, tidak lagi subsidi BBM, tapi subsidi orang sehingga tepat sasaran dan tidak membebani APBN.
"Data masyarakat kecil sudah ada, tinggal di-upgrade data sehingga masyarakat yang butuh akan mendapatkan subsidi. Sekarang kan banyak yang menikmati subsidi BBM ada mobil mobil mewah,” tutur dia
Berdasarkan harga keekonomian, harga BBM di Indonesia juga relatif lebih murah dibanding negara lain dan negara tetangga. Mamit mencontohkan harga BBM jenis pertalite di Eropa dan negara tetangga yang harganya jauh lebih tinggi dibanding di Indonesia saat ini.
"Di Uni Eropa sudah Rp 30 ribu, dan di negara Singapura di angka seperti itu, memang disparitasnya sudah tinggi sekali. Harga BBM kita tidak terlalu murah, tapi sudah murah,” ucap dia.
Selanjutnya: Wacana Kenaikan Harga BBM Jangan Dibiarkan Berlarut<!--more-->
Menurut pengamat dari Indonesia Next Policy Fithra Faisal Hastiadi wacana kenaikan harga BBM jangan dibiarkan berlarut karena akan berdampak pada angka inflasi yang lebih tinggi. Dia menilai pemerintah sudah memikirkan banyak hal dan tentu ini bukan pilihan mudah, karena di setiap kebijakan ada konsekuensi.
“Saya rasa pemerintah masih mengkalkulasi semuanya, tapi lebih cepat lebih baik karena jika lama akan berdampak lebih luas. Wacana sudah bergulir, harga-harga sudah mulai naik, ini nanti akan berdampak inflasinya lebih besar," kata Fithra.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) itu juga meyakini pemerintah sudah menyiapkan sejumlah langkah untuk masyarakat yang membutuhkan, seperti kebijakan yang baru ini sedang disiapkan adalah penyaluran bansos.
"Sekarang defisit APBN kita di bawah tiga persen, itu akan terlampaui lagi dan membuat APBN kita tidak sehat dalam jangka menengah panjang,” tutur dia. “(Subsidi BBM) akan menjadi beban yang sangat berat apalagi hanya dua persen masyarakat miskin yang menikmati subsidi BBM.”
Dia menyarankan lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke sektor yang produktif dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat luas. "Dialihkan ke sektor produktif, misalnya membangun sekolah, membangun jembatan dan bendungan," ujar Fithra.
Baca Juga: Pemerintah Gelontorkan Bantuan Langsung Tunai Sebelum Naikkan Harga BBM Bersubsidi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.