Penundaan Implementasi Pajak Karbon, Keseriusan Pemerintah Dipertanyakan
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Martha Warta Silaban
Jumat, 19 Agustus 2022 18:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk implementasi pajak karbon.
Implementasi pajak karbon resmi tertunda dua kali, dari amanat Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mestinya berlaku 1 April 2022.
“Serius apa enggak, apalagi sebagai Presidensi G20 yang salah satunya membahas tentang transisi energi itu yang sudah diundangkan ditunda,” ujar dia dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Menurut Berly, ini adalah masalah kredibilitas, jangan sampai inisiasi di G20 jadi tidak kredibel karena salah satu janjinya tidak dilaksanakan. Memang, kata dia, harus diakui sudah ada niatan dari pemerintah untuk menerapkan pajak karbon meskipun nilainya masih kecil. “Ini sudah kecil, ditunda lagi.”
Seharusnya perlu dipercepat, sehingga orang sudah menginternalisasi eksternalitas yang merupakan prinsip dasar ekonomi sumber daya alam. Jadi sudah salah langkah over invest di IPP Coal, karena tidak menggunakan prisnsip dasar tadi, jangan sampai diabaikan lagi.
“Sehingga kita malah membayar mahal karena tidak well planned dan berdasarkan sains di awalnya,” tutur Berly.
Sementara Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menyayangkan penundaan implementasi pajak karbon. Karena pajak karbon ini sebenarnya memiliki tujuan memberikan kesempatan bersaing yang sama antara enegi fosil yang mengahasilkan emisi dan terbarukan khususnya hingga tahun 2025.
Padahal pajak karbon bisa diberlakukan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), jadi memberikan kesempatan yang baik untuk energi terbarukan. Namun, pasti ada catatannya, tarif pajaknya masih sangat rendah hanya Rp 30 per kilogram CO2-nya atau US$ 2 per ton-nya jadi masih sangat murah.
“Angka itu jauh dari rekomendasi World Bank yaitu US$ 40-80 per ton-nya untuk efektif mengurangi gas rumah kaca sesuai dengan Paris Agreement,” tutur Adila.<!--more-->
Namun, Adila berujar, tidak apa-apa, karena minimal sudah memulai. Artinya Indonesia sudah memberikan sinyal yang baik untuk dunia internasional, karena akan bergerak ke arah sana, meski ditunda. Tetapi nanti mekanisme ke depannya apakah ada roadmap-nya bagaimana harga ini seharusnya terus ditingkatkan.
“Sehingga semua eksternalitis dari energi fosil itu bisa tercakup di pajak karbon ini. Jadi ongkos lingkungan, ongkos kesehatan atau ongkos krisis iklimnya sehingga harga sebenarnya energi terbarukan lebih murah dari batu bara,” ucap Adila.
Analyst Climate Policy Initiative Albertus Prabu Siagian menilai pajak karbon merefleksikan kerugian lingkungan yang dialami, karena itu mencerminkan eksternalitas. Semakin ke depan, kata dia, lingkungan akan semakin rusak, sehingga pajak karbon itu sebenarnya akan semakin tinggi.
Menunda implementasi pajak karbon, Albertus berujar, hanya membuat pemerintah mengeluarkan uang lebih tinggi karena pajak karbonnya tinggi. Sebenarnya itulah kenapa harus diaplikasikan sejak awal supaya orang bisa belajar menginternalisasikan dampak lingkungan.
“Kalau nanti langsung tinggi orang kagok, mending dari sekarang, biar enggak kaget,” ujar Albertus.
Sebelumnya Kementerian Keuangan atau Kemenkeu memutuskan untuk menunda implementasi penerapan pajak karbon, yang rencananya mulai berlaku 1 Juli 2022. Rencana itu sendiri sudah tertunda dari amanat UU HPP, yakni 1 April 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menyebut bahwa hingga saat ini pemerintah masih berupaya mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon. Regulasi itu diperlukan jika implementasinya akan berlaku pada 1 Juli 2022, sehingga akhirnya diputuskan bahwa pemberlakuan akan ditunda.
"Proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, yang sistemnya akan didukung oleh pajak karbon, masih membutuhkan waktu. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon yang awalnya direncanakan pada Juli 2022 ini," tulis Febrio dalam keterangan resmi, Jumat 24 Juni 2022 malam.
Menurutnya, upaya finalisasi peraturan pendukung pemberlakuan pajak karbon dilakukan bersama dengan seluruh kementerian dan lembaga terkait. Penyempurnaan regulasi itu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti pengembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contributions (NDC), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
Febrio menilai bahwa perekonomian Indonesia masih menghadapi menghadapi risiko global, terutama kenaikan harga komoditas sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina. Harga energi dan pangan secara global mengalami kenaikan dan memicu terjadinya lonjakan inflasi di berbagai wilayah.
Menurutnya, dengan perkembangan tersebut, pemerintah memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
Baca Juga: Indonesia Belum Merdeka dari Energi Fosil, Ini 4 Saran dari Greenpeace
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.