Jokowi Sebut Infrastruktur 11 Kali di Pidato Nota Keuangan, Ekonom: Kontradiktif
Reporter
Tempo.co
Editor
Francisca Christy Rosana
Kamis, 18 Agustus 2022 10:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ragu-ragu pemerintah dapat mengatasi ancaman inflasi pada tahun depan. Ia menilai pidato nota keuangan dan RAPBN Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang sebelas kali menyinggung soal infrastruktur tak sejalan dengan masalah utama yang dihadapi negara.
"Ini agak kontradiktif. Kalau inflasi menjadi salah satu tantangan utama, solusinya bukan infrastruktur, tapi subsidi bantuan sosial. Nah ini bansos cuma disebut sedikit, yang banyak malah infrastruktur," ujar Bhima saat dihubungi, Rabu, 17 Agustus 2022.
Pemerintah menaikkan anggaran infrastruktur sampai Rp 392 triliun pada tahun depan. Alokasi anggaran tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 213,3 miliar.
Belanja pemerintah pusat mencakup belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 189,2 miliar dan non-kementerian dan lembaga sebesar Rp 24,17 miliar. Kemudian, anggaran infrastruktur melalui transfer ke daerah (TKD) dialokasikan Rp 92,98 miliar dan anggaran infrastruktur melalui pembiayaan anggaran sebesar Rp 85,64 miliar.
Bhima mengatakan di tengah infrastruktur yang terus digeber, pemerintah harus menekan defisit APBN hingga 3 persen. Pada saat yang sama, Indonesia diperkirakan masih menghadapi tantangan yang kompleks karena kondisi geopolitik global, seperti harga minyak dunia yang belum stabil.
Jika dalam kondisi ini pembangunan infrastruktur dikebut, perekonomian akan berada dalam posisi dilema. "Sebab kan subsidinya masih akan terus meningkat. Kalau asumsi (harga) minyaknya US$ 90 per barel, ini yang masih belum bisa dijelaskan bagaimana membagi antara subsidi dengan infrastruktur dan infrastruktur mana yang harus dikalahkan," ujar Bhima.
Bhima khawatir upaya pemerintah menggeber infrastruktur di tengah kebutuhan subsidi yang meningkat akan berimbas pada dorongan untuk mengerek penerimaan pajak. Sedangkan bila penerimaan pajak didorong tinggi, kebijakan ini bakal menimbulkan kontraksi ekonomi.
"Jadi (RAPBN 2023) kurang realistis. Tantangannya akan banyak berubah di tengah jalan, terutama yang berkaitan dengan pembengkakan subsidi energi dan pertumbuhan ekonomi. Defisit yang ditargetkan di bawah 3 persen bisa kembali melebar," ucap Bhima.
Baca juga: Menteri PUPR: Tidak Ada Pembangunan Infrastruktur Baru Kecuali Perintah Presiden
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.