Ombudsman Temukan 3 Bentuk Maladministrasi oleh BPJS Ketenagakerjaan, Apa Saja?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 6 Juli 2022 18:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menyatakan pihaknya menemukan tiga tiga bentuk maladministrasi dalam pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BPJS Ketenagakerjaan.
Hasil investigasi atas prakarsa sendiri Ombudsman tersebut bermula dari munculnya kasus-kasus klaim layanan BPJS Ketenagakerjaan, terkait program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dan Jaminan Pensiun.
Ombudsman dalam investigasi itu mendapati masyarakat mengeluhkan kesulitan proses pencairan klaim JHT, JKm, dan JKK. Hal ini menunjukkan masih ada gap antara BPJS Ketenagakerjaan dengna peserta.
"Kami menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan ini terbukti ada maladministrasi," kata Hery dalam konferensi pers, Rabu, 6 Juli 2022.
Tiga bentuk maladministrasi pelayanan tersebut adalah: tindakan tidak kompeten, penyimpangan prosedur, dan penundaan berlarut dalam proses pelayanan klaim di BPJS Ketenagakerjaan.
Hery memaparkan salah satu bentuk maladministrasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan adalah akuisisi kepesertaan penerima upah (PU) dan bukan penerima upah (BPU) yang tidak berjalan optimal. BPJS Ketenagakerjaan juga dinilai tak optimal mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Menurut Hery, dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan di lingkup Kementerian Ketenagakerjaan yang sangat terbatas dan hanya di level provinsi, berdampak pada lemahnya pengawasan dan penanganan pengaduan masyarakat.
"Ini mengakibatkan rendahnya kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," kata Hery. "Problem ini harus diselesaikan dengan perbaikan regulasi terkait."
Selain itu, Ombudsman menilai harus ada perbaikan kualitas SDM BPJS Ketenagakerjaan dalam hal rekrutmen peserta dan pelayanan kepesertaan.
Ombudsman juga menemukan tidak adanya akuntabilitas oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada agen perisai, pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan, serta perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Tak hanya itu, BPJS Ketenagakerjaan juga belaum menyelaraskan regulasi untuk optimalisasi akuisisi kepesertaan dan pelayanan klaim manfaat. "Terkait klaim secara kolektif ini dapat menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oknum. Padahal hubungan kepesertaan adalah antara kedua belah pihak yaitu antara pihak BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta, maka proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak," tutur Hery.
Ada juga bentuk maladministrasi penundaan berlarut yang ditemukan Ombudsman yakni pelayanan pencairan klaim manfaat JHT dan JKm yang masih terjadi hambatan.
Dari sejumlah hasil investigasi itu, Ombudsman merekomendasikan tindakan korektif yang harus dilaksanakan oleh direktur utama BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak terlapor dalam kurun waktu 30 hari mendatang.
<!--more-->
Pertama, agar dirut BPJS Kenetagakerjaan melakukan sosialisasi, koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan akuisisi kepesertaan pada sektor PU, BPU, pegawai pemerintah non-ASN dan termasuk program afirmasi penerima bantuan iuran (PBI), dengan menyusun rencana dan penahapan akuisisi kepesertaan.
Kedua, agar menyiapkan struktur organisasi kerja dan SDM yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas untuk mendukung terselenggaranya program yang diamanatkan oleh regulasi termasuk dalam merespons tuntutan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial.
Ketiga, agar berkoordinasi dengan pihak pemerintah, pelaku usaha dan pekerja dalam hal penetapan batas usia pensiun agar dibuat regulasi dan ketetapan yang relevan mengenai batas usia penerima manfaat JHT.
Ombudsman juga meminta agar BPJS Kesejahteraan konsisten dalam penggunaan nama BPJS Ketenagakerjaan sesuai undang-undang. Tak hanya itu, Ombudsman juga memberikan tindakan korektif kepada menteri koordinator bidang perekonomian dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku pihak terkait.
Di antaranya, agar menteri koordinator bidang perekonomian membuat perencanaan dan penyiapan peraturan pemerintah terkait program PBI terhadap pekerja yang berstatus penyandang masalah sosial, sesuai amanat pasal 19 ayat 5 huruf d UU 24 Tahun 2011, menyusun perencanaan bagi penyempurnaan regulasi yaitu revisi Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Menteri koordinator bidang perekonomian juga diminta untuk membuat perencanaan bagi penyempurnaan regulasi dan atau mengusulkan kepada DPR RI untuk dilakukan yaitu revisi Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak mendaftarkan pekerja ke BPJS ketenagakerjaan, dan revisi Pasal 55 yang menyebutkan bahwa pemberi kerja tidak membayarkan iuran dengan sanksi ancaman pidana denda dan kurungan.
"Seharusnya bagi pelanggaran berupa tidak menjalankan kewajiban mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS dapat diberikan sanksi yang setara berupa denda dan pidana," tegas Hery.
Kepada Ketua DJSN, Ombudsman meminta agar bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan membuat kajian dan saran kepada direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk efektivitas pengawasan dalam hal kepatuhan pembayaran oleh pihak perusaha.
Kemudian, bersama Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, menyusun saran dan arah kebijakan kepada BPJS Ketenagakerjaan dalam hal pelayanan pencairan klaim manfaat oleh BPJS Ketenagakerjaan, agar proses dan prosedur pemberian jaminan sosial dilakukan secara cepat dan akuntabel.
Investigasi diakukan Ombudsman lewat pengumpulan data dan informasi pada periode waktu Oktober-November 2021. Adapun pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksaan dokumen, permintaan keterangan, dan pemeriksaan lapangan.
Ombudsman RI menggelar investigasi di 12 wilayah di Indonesia, yakni DKI Jakarata, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan dengan objek penelitian 11 kantor wilayah BPJS Ketenagakerjaan, 12 kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan, HRD perusahaan, serikat pekerja atau peserta BPJS Ketenagakerjaan.
BISNIS
Baca: Berangkat Tanpa Antre Lewat Haji Furoda, Jemaah Diingatkan: Risiko Kuota Unpredictable
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.