BPK Laporkan 27 Temuan di LKPP 2021 ke Jokowi, Apa Saja yang Disorot?
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 23 Juni 2022 13:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hari ini menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021 kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Laporan ini memuat 27 permasalahan terkait kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan.
"Perlu ditindaklanjuti pemerintah guna perbaikan pengelolaan APBN," kata Ketua BPK Isma Yatun dalam acara di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, 23 Juni 2022.
Sebelumnya dalam sidang paripurna DPR 14 Juni lalu, BPK juga telah menyerahkan LHP atas LKPP tahun 2021 yang diganjar opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Ini adalah opini WTP keenam berturut-turut sejak 2016.
Isma hanya melaporkan sebagian saja dari 27 temuan tersebut ke Jokowi, Kamis ini. Tapi laporan BPK di laman resmi mereka telah memuat total 27 temuan tersebut, di antaranya yaitu sebagai berikut:
1. Penentuan kriteria program penanganan andemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PCPEN) tahun 2021 dan pelaporan pada LKPP tahun 2021 (audited) belum sepenuhnya memadai
2. Sistem informasi dan pelaporan atas target dan realisasi capaian output program prioritas masional dan program PCPEN belum sepenuhnya memadai untuk mendukung pelaporan keuangan pemerintah pusat
3. Pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp 15,31 triliun belum sepenuhnya memadai
4. Kebijakan akuntansi belum mengatur pelaporan secara akrual atas transaksi pajak atas penyajian hak negara minimal sebesar Rp 11,11 triliun dan kewajiban negara minimal sebesar Rp 21,83 triliun serta belum memaksimalkan tindakan penagihan hingga piutang pajak daluwarsa sebesar Rp 710,15 miliar<!--more-->
5. Pengelolaan penerimaan negara bukan pajak pada 36 kementerian lembaga minimal sebesar Rp 3,97 triliun belum sesuai ketentuan serta pengelolaan piutang bukan pajak pada 18 kementerian lembaga sebesar Rp 1,22 triliun belum sesuai ketentuan
6. Pemerintah belum memiliki pengaturan lebih lanjut atas kriteria dan mekanisme perhitungan alokasi anggaran mandatory spending dalam APBN
7. Pengendalian dalam pelaksanaan belanja program PCPEN sebesar Rp 10,20 triliun pada sepuluh kementerian lembaga tidak memadai
8. Penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja non - program PCPEN pada 80 kementerian lembaga minimal sebesar Rp 12,52 triliun belum sepenuhnya sesuai ketentuan
9. Pengelolaan penggantian belanja kementerian lembaga untuk kegiatan vaksinasi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di daerah melalui pemotongan dana alokasi umum (DAU) atau dana bagi hasil (DBH) pemerintah daerah tidak memadai
10. Sisa dana investasi pemerintah dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional (IPPEN) tahun 2020 dan 2021 kepada PT Garuda Indonesia sebesar Rp 7,5 triliun tidak dapat disalurkan dan kepada PT Krakatau Steel sebesar Rp 800 miliar berpotensi tidak dapat tersalurkan
11. Terdapat perubahan skema pendanaan proyek kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang menimbulkan kewajiban bagi pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada PT KAI (persero) sebesar Rp 4,30 triliun untuk pemenuhan modal awal PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC)
12. Saldo kas terlambat atau belum disetor ke kas negara sebesar Rp 25,76 miliar, kas tidak didukung dengan keberadaan fisik kas sebesar Rp 127,97 juta, pengelolaan kas dan rekening tidak tertib sebesar Rp 18,87 miliar pada 34 kementerian lembaga.
13. Piutang pajak macet sebesar Rp 20,84 triliun belum dilakukan tindakan penagihan yang memadai<!--more-->
14. Penatausahaan piutang pajak pada Direktorat Jenderal Pajak belum sepenuhnya memadai
15. Sistem pengendalian intern dalam pelelangan dan pencairan barang sitaan belum memadai
16. Hak tagih pemerintah atas bank dalam likuidasi (BDL) sebesar Rp 9,96 triliun belum jelas penyelesaiannya dan aset jaminan atas hak tagih tersebut sebesar Rp 12,02 triliun belum dikelola dan dilaporkan secara memadai
17. Pengelolaan persediaan dan sistem informasi pendukungnya belum sepenuhnya dapat mendukung pelaporan persediaan yang akurat
18. Sisa dana bantuan operasional sekolah (BOS) reguler tahun 2020 dan 2021 minimal sebesar Rp 1,25 triliun belum dapat disajikan sebagai piutang transfer ke daerah (TKD)
19. Pengendalian atas pengelolaan aset tetap belum memadai berdampak adanya saldo barang milik negara (BMN) yang tidak akurat
20. Sistem informasi pengelolaan BMN belum sepenuhnya mendukung pelaporan saldo aset lainnya secara akurat, serta pengendalian atas pengelolaan aset lainnya pada 25 kementerian Lembaga belum sepenuhnya memadai
21. Perlakuan dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sebagai investasi jangka panjang non-permanen lainnya pada LKPP tahun 2021 belum didukung keselarasan regulasi, kejelasan skema pengelolaan dana, dan penyajian dalam laporan keuangan BP Tapera.
22. Penyajian investasi nonpermanen pada LKPP/LKBUN tahun 2021 berupa kepemilikan saham pada PT Karabha Digdaya (PT KD), PT Sejahtera Eka Graha (PT SEG), dan PT Aldevco (PT AVCO) belum sepenuhnya sesuai ketentuan.
23. Penerimaan pembiayaan dan belanja yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri serta realisasi pemanfaatan insentif pajak ditanggung pemerintah belum dapat disahkan dan dipertanggungjawabkan
24. Pemerintah belum menyajikan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada neraca pemerintah pusat
25. Pemerintah belum sepenuhnya mempertimbangkan profil jatuh tempo SUN seri variable rate (VR) dalam rangka keputusan bersama II dan III terhadap risiko kesinambungan keuangan pemerintah, serta implementasi nota kesepahaman antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebagai instrumen untuk penyelesaian permasalahan antara pemerintah dengan Bank Indonesia belum optimal
26. Pemerintah belum menetapkan kebijakan atas penyelesaian tagihan domestic market obligation (DMO) fee PT Pertamina Huku periode Januari 2020 sampai dengan Januari 2022 sebesar US$ 65.74 juta
27. Kelemahan penatausahaan putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) sehingga tidak dapat diketahui potensi hak dan kewajiban pemerintah secara keseluruhan.
Baca Juga: Jokowi Perintahkan Menteri Tindaklanjuti Temuan BPK di LKPP 2021