Penyusunan RAPBN 2023, Sri Mulyani Cermati Imbas Kenaikan Inflasi Global
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 8 Juni 2022 15:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah masih akan melihat dinamika global untuk menetapkan postur Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023.
Sri Mulyani mengatakan postur APBN harus dijaga karena dinamika global akibat kenaikan suku bunga dan penguatan nilai tukar dolar AS, termasuk Euro, dan Yen.
“Ini yang akan kami lihat untuk menetapkan postur RAPBN 2023 nanti,” kata Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR RI, Rabu, 8 Juni 2022.
Sri Mulyani tetap optimistis pada 2023 pemulihan ekonomi akan tetap berjalan, namun ia melihat risiko baru dalam menyusun RAPBN 2023. Salah satunya adalah risiko perekonomian global yang akan berimplikasi pada sisi inflasi karena kenaikan harga energi dan pangan sehingga memaksa pengetatan kebijakan moneter.
“Kalau seandainya pengetatan cepat dan tinggi, maka dampak terhadap pelemahan ekonomi global akan terlihat spill over-nya ke seluruh dunia. Dan yang kedua asumsi terhadap inflasi dan nilai tukar,” kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan persoalan inflasi di dunia saat ini kontribusi dari sisi produksi atau suplai lebih dominan dibanding kontribusi dari sisi demand atau permintaan. Persoalannya, dari sisi suplai yang terdisrupsi oleh konflik di Ukraina dan pandemi akan menjadi perhatian hingga tahun 2023.
<!--more-->
“Dinamika demand dan supply, dan instrumen mana yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan kemungkinan stagflasi tanpa menyebabkan risiko ekonomi yang sangat besar, ini yang akan menjadi tema kebijakan makro, mikro, bahkan sektoral,” katanya.
Oleh karena itu, kata Sri Mulyani, pemerintah sebagai pengelola fiskal bersama Bank Indonesia dalam sektor moneter akan melihat data untuk menentukan seberapa cepat untuk menyesuaikan untuk menjaga inflasi tetap rendah dan pendapatan yang diharapkan tumbuh tinggi.
“Inflasi lebih tinggi pasti. Oleh karena itu kebijakan moneter yang lebih ketat dan tinggi interest rate-nya itu pasti, hanya seberapa tinggi dan cepat. Artinya cost of money akan menjadi lebih tinggi,” tuturnya.
Sri Mulyani menjelaskan Indonesia masih memiliki kesempatan untuk menjaga ekonomi dari sisi neraca pembayaran karena Indonesia produsen berbagai komoditas, namun ia memperingatkan adanya permintaan impor yang mulai meningkat dan dinamika keuangan global dari sisi capital flow.
Baca: Luhut Teken Surat, Audit Perusahaan Sawit Resmi Dimulai
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.