Sri Mulyani Rilis Aturan Tax Amnesty Jilid II: Peserta, Tata Cara, dan Sanksinya
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 27 Desember 2021 11:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak atau Tax Amnesty Jilid II. Program pengampunan pajak ini akan berlangsung selama enam bulan, dari 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
“PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP (Wajib Pajak) untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh (Pajak Penghasilan) berdasarkan pengungkapan harta,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor dalam keterangan tertulis, Senin, 27 Desember 2021.
Neil menyebut banyak manfaat yang akan diperoleh wajib pajak, di antaranya terbebas dari sanksi administratif dan perlindungan data. Di mana, data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak. Adapun aturan lengkap mengenai program ini yaitu sebagai berikut:
Ruang Lingkup Kebijakan
Pertama yaitu kebijakan I, dengan peserta wajib pajak orang pribadi (OP) dan badan peserta Tax Amnesty Jilid I pada 2016 lalu. Basis pengungkapannya yaitu harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap saat mengikuti Tax Amnesty. Kelompok peserta ini dikenai tiga jenis tarif:
- 11 persen untuk harta deklarasi luar negeri (LN))
- 8 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harga deklarasi dalam negeri (DN)
- 6 persen untuk harga luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara atau SBN, hilirisasi Sumber Daya Alam atau SDA, atau energi terbarukan.
Kedua yaitu kebijakan II, dengan peserta wajib pajak orang pribadi. Basis pengungkapannya yaitu harga perolehan 2016 sampai 2020 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan atau SPT Tahunan 2020. Kelompok peserta ini juga dikenai tiga jenis tarif:
- 18 persen untuk harta deklarasi luar negeri
- 14 persen untuk harta luar negeri repatriasi dan harga deklarasi dalam negeri
- 12 persen untuk harga luar negeri repatriasi dan harta deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi SDA, atau energi terbarukan.
Berikutnya, ada dua aturan khusus untuk kebijakan II. Pertama, wajib pajak tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk ahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020. Kedua, tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.
<!--more-->
Tata Cara Pengungkapan
Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps. SPPH dilengkapi dengan lima dokumen yaitu SPPH induk, bukti pembayaran PPh Final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, dan pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
Khusus untuk peserta kebijakan II, ada dua tambahan kelengkapan dokumen. Keduanya yaitu pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum), serta surat permohonan pencabutan banding, gugatan, peninjauan kembali.
Berikutnya, peserta program dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH. Perbaikan bisa dilakukan apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif.
Selain itu, peserta juga dapat mencabut keikutsertaan dalam program ini dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut dalam program dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
Bila berlanjut, maka pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan I yaitu 427, dan untuk kebijakan II yaitu 428. Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan Pemindahbukuan (Pbk) dan PPh Final harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih (harta dikurang utang).
Untuk kebijakan I, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2015 yaitu:
- Nilai nominal, untuk harta kas atau setara kas
- Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk untuk emas dan perak
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT BEI
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang atau sukuk yang diterbitkan perusahaan
- Jika tidak ada pedoman, menggunakan hasil penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP)
Sementara untuk kebijakan II, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2020 yaitu:
- Nilai nominal, untuk kas atau setara kas
- Harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas
- Jika tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari harta sejenis atau setara berdasarkan penilaian wajib pajak
- <!--more-->
Ketentuan Repatriasi
Repatriasi atau pengalihan harta ke Indonesia dilakukan paling lambat 30 September 2022 melalui bank. Lalu, harta bersih yang dialihkan ke Indonesia tidak dapat dialihkan ke luar wilayah Indonesia (holding period) paling singkat selama 5 tahun terhitung sejak Surat Keterangan diterbitkan. Holding period ini berlaku pula untuk aset deklarasi dalam negeri.
Ketentuan Investasi
Investasi pada hilirisasi SDA atau energi terbarukan dapat dilakukan dalam bentuk pendirian usaha baru atau penyertaan modal. Sementara, investasi SBN dilakukan di pasar perdana dengan mekanisme private placement melalui dealer utama dengan menunjukkan Surat Keterangan.
Ketiga bentuk investasi ini dilakukan paling lambat 30 September 2023. Setelah itu, holding period atau jangka waktu paling lama bagi harta tersebut ditempat di tiga instrumen ini yaitu 5 tahun sejak diinvestasikan.
Investasi dapat dipindahkan ke bentuk lain setelah minimal 2 tahun. Perpindahan antarinvestasi maksimal 2 kali dengan maksimal 1 kali perpindahan dalam 1 tahun kalender. Perpindahan investasi ini pun diberikan maksimal jeda 2 tahun, di mana jeda waktu perpindahan antarinvestasi menangguhkan holding period 5 tahun yang disyaratkan.
Kemudian, peserta dengan komitmen repatriasi dan atau investasi juga wajib menyampaikan laporan realisasi investasi melalui laman Ditjen Pajak paling lambat saat berakhirnya batas penyampaian SPT Tahunan.
Tambahan Tarif dan Sanksi
Peserta di kebijakan I dapat dikenai PPh Final atas harta bersih tambahan dengan tarif 25 persen (badan), 30 persen (orang perorang), dan 12,5 persen (WP tertentu). Lalu, ada lagi tambahan sanksi 200 persen sesuai aturan Pasal 18 ayat 3 UU Pengampunan Pajak. Aturan ini dikenakan bagi peserta yang sampai program ini berakhir (30 Juni 2022), masih ada hartanya yang belum diungkap pada saat mengikuti Tax Amnesty 2016.
Konsekuensi juga diberlakukan pada peserta kebijakan II, yang sampai program ini berakhir, masih ada harta yang belum diungkapkan dalam SPPH. Peserta ini dikenai PPh Final atas harta bersih tambahan dengan tarif 30 persen (sesuai Pasal 11 ayat 2 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Lalu, ada lagi tambahan sanksi sesuai Pasal 13 ayat 2 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP).
Tambahan PPh Final
Nantinya, ada tambahan PPh Final bagi peserta kebijakan I dan kebijakan II yang wanprestasi repatriasi atau investasi sampai batas waktu yang ditentukan. Tambahan ini berlaku untuk tiga kasus dan tarifnya berbeda untuk peserta kebijakan I dan kebijakan II.
Pertama, tambahan PPh Final bagi peserta kebijakan I:
- Gagal investasi, hanya repatriasi LN atau deklarasi DN: 3 persen (sukarela) dan 4,5 persen (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau SKPKB)
- Gagal investasi dan repatriasi, hanya deklarasi DN: 6 persen (sukarela) dan 7,5 persen (SKPKB)
- Gagal repatriasi, hanya deklarasi DN: 4 persen (sukarela) dan 5,5 persen (SKPKB).
Kedua, tambahan PPh Final bagi peserta kebijakan II:
- Gagal investasi, hanya repatriasi LN atau deklarasi DN: 3 persen (sukarela) dan 4,5 persen (SKPKB)
- Gagal investasi dan repatriasi, hanya deklarasi DN: 7 persen (sukarela) dan 8,5 persen (SKPKB)
- Gagal repatriasi, hanya deklarasi DN: 5 persen (sukarela) dan 6,5 persen (SKPKB).
Menurut Neil, informasi lebih lanjut surat tersedia dalam salinan PMK 196 ini yang dapat dilihat di portal khusus yang sudah disiapkan oleh DItjen Pajak. Portal tersebut yaitu https://www.pajak.go.id/pps.
BACA: Aturan Tax Amnesty Jilid II Terbit, Ungkap Harta Tak Bakal Dituntut Pidana