Luhut: Utang Rp 6.000 Triliun Itu Produktif, Bisa Dikembalikan
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 15 Desember 2021 16:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan utang pemerintah saat ini masih terkendali. Salah satunya terlihat dari rasio utang yang di bawah 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Oleh sebab itu, menurut dia, jika ada utang untuk pembangunan proyek-proyek tertentu, seharusnya tidak perlu dipersoalkan. “Utang Rp 6.000 triliun itu produktif dan bisa dikembalikan. Kenapa menjadi masalah?” ujar Luhut, Rabu, 15 Desember 2021.
Ia pun meminta tiap pihak menilai persoalan utang dengan berbasis data. Kalaupun ada yang mengkritik, Luhut meminta juga disertai dengan data. “Jangan membuat berita tidak penting,” katanya.
Adapun utang pemerintah per akhir Oktober 2021 sebesar Rp 6.687,28 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 39,69 persen. Angka itu di bawah outlook pemerintah di kisaran 41-43 persen pada akhir tahun ini.
Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK sebelumnya menyoroti kenaikan utang pemerintah dan biaya bunga selama pandemi Covid-19 hingga melampaui PDB dan penerimaan negara. Selain utang, defisit dan Silpa yang melonjak dinilai berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Dalam kajian atas Kesinambungan Fiskal 2020 yang dirilis BPK dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester I tahun 2021, indikator kesinambungan fiskal (IKF) 2020 juga tercatat sebesar 4,27 persen. Angka itu telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen.
BPK juga menyebutkan indikator kerentanan utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) atau International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 - 35 persen.
<!--more-->
Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 - 6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7 - 10 persen. Kemudian rasio utang terhadap penerimaan tercatat sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 - 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 - 150 persen.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Riko Amir memastikan pemerintah sangat memperhatikan kenaikan utang tersebut.
Menurut dia, rasio utang ini akan terus dijaga dan diupayakan turun dalam beberapa tahun ke depan. Mulai dari 42,8 persen (2023), 42,48 persen (2024), dan 41,82 persen (2025). Sejalan dengan upaya menurunkan rasio utang, defisit APBN pun juga akan ditekan sesuai amanat UU Keuangan Negara yaitu maksimal 3 persen terhadap PDB.
Sebelumnya gara-gara pandemi, pemerintah diberi keleluasaan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 untuk memperlonggar defisit melebihi 3 persen selama tiga tahun (2020-2022). Sehingga, defisit 2020 langsung membengkak jadi 6,14 persen untuk menutupi besarnya biasa menangani pandemi.
Sejumlah upaya pun dilakukan demi menurunkan rasio utang dan defisit ini dalam beberapa tahun ke depan. Di antaranya yaitu dengan cara menurunkan nominal utang dan menaikkan produktivitas, sehingga PDB naik.
BISNIS | FAJAR PEBRIANTO
Baca: Arcandra Tahar Beberkan Upaya Cina Tekan Emisi dan Beralih ke Energi Terbarukan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.