Pelita Air Dinilai Bakal Sulit Gantikan Peran Garuda Indonesia, Kenapa?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 5 November 2021 07:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat industri penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soedjatman menilai Pelita Air bakal sulit menggantikan peran PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Khususnya dalam berekspansi usaha, ia memperkirakan butuh waktu lama untuk bisa mengembangkan sayapnya.
“Untuk ekspansi, Pelita akan butuh waktu," ujar Gerry ketika dihubungi, Kamis, 4 November 2021. Ia menyebutkan Pelit Air baiknya berfokus pada persiapan armada bisnis penerbangan berjadwal terlebih dahulu dan ekspansi awal untuk mencapai jumlah yang cukup. "Untuk kemudian mulai ke ekspansi besar-besaran."
Lebih jauh, ia juga menilai posisi Garuda Indonesia tidak mudah digantikan dengan maskapai lain, termasuk Pelita Air. Sebab, selain memiliki sarana dan prasarana yang sangat besar, jumlah pesawat dan rute yang dilayani maskapai berkode saham GIAA tersebut juga tidak sebanding dengan Pelita Air saat ini.
Sementara itu, pemerhati penerbangan Alvin Lie menyatakan Pelita Air yang merupakan milik PT Pertamina (Persero) itu jauh lebih sehat secara finansial ketimbang Garuda Indonesia saat ini. Garuda terbebani setumpuk utang dan ekuitas negatif hingga US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 35 triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS).
Alvin menilai Pelita Air bakal menghadapi tantangan yang sangat berat bila dipaksa mendadak mengembangkan bisnisnya secara ekstrem menjadi maskapai penerbangan utama. Baik dari segi permodalan, armada, SDM maupun organisasi.
“Akan lebih baik jika Pelita Air bertransformasi secara bertahap, daripada mengembangkan bisnis secara ekstrem,” kata Alvin.
<!--more-->
Garuda Indonesia kini membutuhkan setidaknya tambahan Rp14,32 triliun atau US$ 1 miliar untuk membayar utangnya dan tetap bertahan. Wakil Menteri II BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa perseroan sedang dalam pembicaraan dengan kreditur untuk merestrukturisasi utang senilai US$ 6,3 miliar. Pembicaraan tersebut diharapkan bisa rampung pada kuartal kedua tahun depan.
Perusahaan maskapai pelat merah itu telah menyiapkan sejumlah opsi dalam negosiasi utang, termasuk beralih ke instrumen misalnya obligasi konversi wajib atau pinjaman bank tanpa kupon. “Kami sedang bernegosiasi dengan banyak pihak. Jadi preferensi mereka pun beragam," kata pria yang akrab disapa dengan Tiko tersebut.
Tiko menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin mempailitkan Garuda. "Yang kami lakukan adalah mencari cara untuk menyelesaikan persoalan utang, baik di luar proses pengadilan maupun di dalam pengadilan,” ucapnya.
Saat negosiasi restrukturisasi rampung, kata Tiko, Garuda bakal memiliki US$ 1 miliar untuk membayar kewajibannya dan untuk modal kerja. Dengan kebutuhan pembiayaan cukup besar, pemerintah mulai berpikir realistis dan membuka kemungkinan investor swasta untuk menjadi pemilik mayoritas. “Kami terus melakukan pembicaraan dengan sejumlah pihak,” tuturnya.
Tiko menyebutkan Garuda Indonesia harus memangkas utang di kisaran 70–80 persen supaya dapat bertahan. Per akhir Juni tahun ini, laporan keuangan menunjukkan perseroan memiliki ekuitas negatif senilai US$ 2,8 triliun.
BISNIS
Baca: Dilaporkan ke KPK soal Bisnis PCR, Luhut Tenangkan Istri: Tidak Ada yang Salah
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.