Fiskal Ketat, Pemerintah Diminta Lebih Sensitif Beri Diskon Pajak
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 9 Oktober 2021 13:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah diminta lebih sensitif dalam mengucurkan belanja perpajakan untuk pemberian insentif fiskal seperti diskon pajak. Peneliti Indef, Riza Annisa Pujarama, mengatakan perlu kajian komprehensif sebelum insentif itu diberikan.
“Seperti bagaimana kontribusi insentif ke perekonomian. Dari yang ada saat ini, apakah benar bisa memberikan dampak,” ujar Riza dalam acara webinar mengenang 100 hari Enny Sri Hartati, Sabtu, 9 Oktober 2021.
Untuk diskon pajak, misalnya. Ia berujar perlu evaluasi apakah industri-industri yang menerima keringanan diskon pajak memberikan dampak signifikan ke pembukaan lapangan kerja atau tenaga kerja. Karenanya, perlu pengawasan terhadap industri-industri yang menerima insentif.
Selain itu, perlu juga dilihat apakah insentif tersebut sebanding dengan nilai ekonominya. Sensitivitas terhadap pemberian insentif diperlukan lantaran kondisi fiskal negara semakin ketat.
Pada 2021, APBN Indonesia masih difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19. Di saat yang sama, penerimaan perpajakan belum mencapai normal karena berbagai sektor belum bisa mencapai pemulihan akibat krisis.
“Insentif fiskal bisa dilihat penggunaannya asalnya dari belanja perpajakan. Estimasi belanja perpajakan memang banyak digunakan di industri pengolahan, sektor jasa keuangan, lalu sektor kehutanan dan perikanan,” ujar Riza.
Riza melanjutkan, belanja perpajakan seperti untuk insentif fiskal memiliki aspek negatif. Di antaranya, menciptakan kesenjangan, menggerus basis penerimaan pajak, serta tidak adanya kontroL dan batasan atas belanja pemerintah. Selain itu, menambah kompeksitas ketentuan pajak dan membuat nilai pajak pemerintah sulit diketahui secara pasti.
Baca: Jika Terbukti Tak Bersalah, Bank Mandiri Balik Proses Hukum Nasabah di Kudus