Kisah Yenny Wahid Saat jadi Komisaris Garuda: Aduh Kenapa Krisisnya Kayak Begini
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 20 Agustus 2021 09:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid menceritakan pengalamannya semasa menjadi Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Ia telah mundur sebagai komisaris sejak 12 Agustus lantaran ingin membantu meringankan beban perusahaan.
Yenny mengatakan bekerja di maskapai pelat merah memiliki tantangan besar, apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19. Salah satu tantangannya adalah Garuda sebagai maskapai nasional harus tetap bertahan di tengah menurunnya jumlah penumpang sembari tetap membiayai beban operasional yang terus membengkak.
Ihwal beban operasional ini, Yenny mengeluhkan adanya temuan berbau suap dan KKN pada masa lalu, yang akhirnya membuat keuangan maskapai makin buruk. Temuan ini untuk pengadaan pesawat yang tidak cocok dengan karakteristik perseroan.
“Di Garuda walaupun bikin stres, aduh kenapa krisisnya kayak begini, aduh kenapa korupsi di masa lalu gede banget, aduh kenapa sih kita masih ada tinggalan pesawat masa lalu yang ini mau diapain, tapi tetap ada kecintaan,” kata Yenny Wahid dalam diskusi Live Instagram Tempo, Kamis malam, 19 Agustus 2021.
Pengadaan pesawat bermasalah yang dimaksud putri kedua Abdurrahman Wahid itu adalah armada Bombardier CRJ1000-NG. Per akhir 2020, Garuda tercatat memiliki 18 unit Bombardier.
Kecurigaan adanya praktik lancung juga telah diendus oleh Serious Fraud Office (SFO) atau KPK Inggris. KPK Inggris melakukan investigasi terhadap dugaan suap pengadaan Bombardier dari kontrak lessor dengan Garuda Indonesia pada November 2020 lalu.
Yenny menceritakan bahwa pesawat Bombardier membuat perusahaan terus merugi karena biaya perawatannya sangat besar. “Kalau diterbangi rugi, kalau parkir apalagi. Ibaratnya perusahaan angkot tapi angkotnya Lexus dan kita harus tetap nyicil tiap bulan,” kata Yenny.
<!--more-->
Menurut Yenny, Garuda telah bernegosiasi dengan lessor untuk mengembalikan pesawat Bombardier. Maskapai menggunakan kasus hukum sebagai alasan kuat untuk tidak lagi mengoperasikan armada tersebut. Bahkan, Garuda meminta kompensasi atas adanya kasus hukum yang merugikan perusahaan.
“Kita terbantu oleh KPK, Kementerian Hukum dan HAM. Kita minta tolong pemerintah agar Garuda bisa dapat kompensasi dan koordinasi agar kasus korupsi ini minimal ada ganti ruginya,” kata Yenny.
Adapun ihwal kasus korupsi di Garuda, Yenny mengatakan saat ini pihak-pihak yang terlibat sudah diproses secara hukum. Bila pesawat dikembalikan, Garuda bisa menghemat biaya operasionalnya hingga miliaran dolar.
Garuda melakukan pengadaan pesawat Bombardier CRJ 1000 sejak 2012 hingga 2015 secara bertahap. Pesawat ini melayani rute pendek di Indonesia Timur pada awal pengoperasiannya. Pada 2013, perusahaan membuka rute baru yang melayani penerbangan dengan Bombardier untuk rute Makassar-Lombok, Surabaya-Semarang, dan Tarakan-Balikpapan
Pada Februari lalu, Garuda mengumumkan sedang mengevaluasi kontrak sewa 12 pesawat Bombardier dari total 18 pesawat yang ada. Keputusan pengembalian pesawat atau early termination ditandai dengan pemberhentian operasi 12 armada Bombardier sejak 1 Februari 2021.
Sebanyak 12 armada itu disewa Garuda menggunakan skema operating lease dari lessor Nordic Aviation Capital dengan masa sewa hingga 2027. Sedangkan enam armada lainnya menggunakan skema financial lease dengan penyedia financial lease Export Development Canada. Masa sewa pesawat itu sampai 2024.
Baca: Lion Air Group Tawarkan Voucher Tes PCR Rp 285.000 dan Antigen Rp 35.000