Buruh Terpapar Covid-19 Dilarang Lapor ke Satgas Covid-19 oleh Perusahaan
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Martha Warta Silaban
Senin, 19 Juli 2021 12:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Divisi Anak dan Perempuan DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sumiyati mengungkapkan sejumlah perusahaan kedapatan melarang pekerjanya yang terpapar virus corona untuk melapor ke Satgas Covid-19.
Manajemen disebut menakut-nakuti buruh dengan ancaman pemberhentian operasional perusahaan untuk sementara bila kantor tersebut ketahuan menjadi klaster penyebaran virus corona.
“Kalau (perusahaan) di-lockdown jelas sekali (buruh) tidak dapat upah,” ujar Sumiyati dalam konferensi pers pada Senin, 19 Juli 2021.
Dengan statusnya sebagai pekerja kontrak dan pekerja lepas, buruh hanya akan memperoleh upah berdasarkan jam kerja. Adapun bila perusahaan mengalami pemberhentian operasional sementara, buruh harus melakukan isolasi mandiri tanpa jaminan pemenuhan kebutuhan.
Sumiyati memaparkan buruh menghadapi tekanan ganda selama pandemi Covid-19 karena harus bekerja di tengah risiko penularan virus corona yang tinggi. Musababnya, tidak semua perusahaan memberikan fasilitas kesehatan yang layak, seperti vitamin dan alat perlindungan diri atau APD, masker, dan vitamin.
Di sisi lain, buruh masih harus bekerja di tempat tertutup dan berinteraksi d<!--more-->engan rekan kerjanya. Tak sedikit perusahaan yang melanggar aturan jaga jarak dengan tidak membatasi kapasitas karyawan masuk. Perusahaan juga disebut-sebut tak melakukan pengaturan jam kerja agar tidak terjadi penumpukan pekerja di pabrik.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Emelia Yanti Siahaan mengatakan sejak masa pandemi Covid-19, pabrik telah menjadi klaster penyebaran Covid-19. Data GSBI menemukan 115 buruh yang bekerja di sebuah pabrik di Tangerang terkonfirmasi Covid-19 selama 2021. Sedangkan di salah satu pabrik di Karawang, sebanyak 29 buruh terpapar Covid-19 dan satu orang meninggal.
Ia curiga jumlah itu bisa lebih banyak karena perusahaan tidak terbuka. GSBI acap kesulitan mengakses data jumlah buruh yang tertular virus corona di pabrik karena perusahaan menutup akses informasi.
“Itu juga yang membuat buruh memilih diam. Mereka pilih mengkonsumsi obat warung ketimbang mereka datang ke klinik puskesmas rumah sakit,” ujarnya.
Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) menuntut pemerintah menjamin perlindungan hak atas kesehatan dan hak-hak kerja para buruh. Tuntutan itu berkaca pada munculnya klaster pabrik sebagai klaster penyebaran Covid-19 yang paling agresif.
Baca Juga: Jadi Kluster COVID-19, Pemerintah Singapura Tahan Izin 400 Tempat Hiburan Malam