Heboh Soal Izin Penggunaan Darurat Ivermectin, Berikut 4 Faktanya
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 16 Juli 2021 15:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Perkara izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) untuk Ivermectin sebagai obat terapi Covid-19 terus menjadi perbincangan hangat masyarakat. Apalagi belakangan Kepala BPOM Penny Lukito membantah bahwa lembaganya menerbitkan izin tersebut.
Kabar tersebut sebelumnya muncul dalam pemberitaan yang mengutip Surat Edaran (SE) BPOM Nomor PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Distribusi Obat dengan EUA yang terbit pada 13 Juli 2021. "SE itu diartikan salah, bukan demikian," kata Penny saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 15 Juli 2021.
Sejumlah pemberitaan menyimpulkan Ivermectin dapat EUA karena masuk dalam delapan daftar obat yang mendukung penanganan terapi Covid-19 yang ada di surat tersebut. Daftarnya yaitu Remdesivir, Favipiravir, Oseltamivir, Immunoglobulin, Ivermectin, Tocilizumab, Azithromycin, dan Dexametason (tunggal).
Berikut ini adalah catatan Tempo soal apa saja yang diatur dalam surat edaran tersebut.
1. Tujuan Surat Edaran
Penny Lukito menjelaskan surat tersebut bertujuan agar produsen dan distributor obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Covid-18 selalu melaporkan distribusi mereka ke mana saja. Dari daftar delapan obat yang tercantum di dalamnya, hanya ada 2 saja yang punya EUA yaitu Remdesivir dan Favipiravir.
Sementara, obat cacing Ivermectin hanya bisa digunakan untuk pengobatan Covid-19 melalui uji klinik di 8 rumah sakit. Tapi saat ini, kata Penny, uji klinis ini sedang diperluas lagi di RS lainnya yang sudah mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan.
Kebijakan ini, kata Penny, sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM yang baru tentang Perluasan Akses untuk obat uji seperti Ivermectin. "Dengan resep dokter dan tetapi, atau dosis dan pemberian sesuai dengan uji klinik," tuturnya.
Dinukil dari surat edaran tersebut, fasilitas distribusi yang mendistribusikan obat yang diberikan EUA wajib melaporkan pemasukan dan penyaluran obat tersebut kepada Badan POM setiap dua minggu sekali melalui aplikasi e-was.pom.go.id.
Namun, karena ada kelangkaan obat pendukung terapi Covid-19, termasuk obat yang diberikan EUA, maka BPOM meminta pelaporan dilakukan setiap akhir hari kegiatan distribusi. Ketentuan ini berlaku untuk periode Juli sampai September 2021.
2. SE Sempat Dianggap sebagai Izin Darurat untuk Ivermectin
Surat tersebut sempat menjadi perbincangan lantaran dianggap sebagai izin penggunaan darurat bagi Ivermectin. Surat itu juga sempat dikomentari Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga. "Jadi sekarang setelah keluar hasilnya, semoga ini bisa memberikan terobosan-terobosan baru untuk pengobatan terapi Covid-19," ujar Arya dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, 14 Juli 2021.
<!--more-->
Ia mengatakan Kementerian BUMN selalu sepakat proses harus dilalui termasuk untuk obat terapi ini, serta juga mengetahui bahwa Menteri BUMN Erick Thohir sempat mengirimkan surat untuk meminta EUA dari BPOM secara resmi. Dan setelah itu juga bersama-sama dengan BPOM Menteri BUMN mengajukan juga EUA ini untuk Ivermectin.
Menurut Arya, hal tersebut bisa membantu untuk memicu penurunan Covid-19 di Indonesia yang sekarang sedang terjadi. Dan satu hal ialah obat ini adalah obat yang murah, apalagi yang generik di mana harganya sekitar Rp 7.885 per tablet semoga obat ini bisa diakses oleh masyarakat secara luas juga namun tetap dengan syarat adanya resep dokter atau pengawasan dokter.
3. Proses Uji Klinis Ivermectin
BPOM tercatat baru menyerahkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) Ivermectin kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan pada 28 Juni 2021 lalu. Penyerahan PPUK ini merupakan bentuk dukungan BPOM dalam uji klinik terhadap obat yang potensial digunakan dalam penanggulangan Covid-19 di Tanah Air.
“BPOM telah mengkaji berbagai studi yang dilakukan di negara lain seperti Ceko, India, dan Slovakia. Uji klinik di Indonesia akan dilakukan dengan metode Randomized Control Trial/Acak Terkontrol di 8 rumah sakit yaitu 1 rumah sakit di Medan, 1 rumah sakit di Pontianak, dan 6 rumah sakit di Jakarta," ujar Penny Lukito saat itu.
Berikutnya, pada 3 Juli 2021, BPOM juga menyampaikan bahwa Ivermectin tergolong sebagai obat keras yang tersedia dalam bentuk sediaan 12 mg. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal 150 – 200 mcg/Kg berat badan dengan pemakaian 1 (satu) tahun sekali.
4. Penggunaan Ivermectin
Dalam beberapa publikasi global, BPOM menyebut Ivermectin telah digunakan untuk penanggulangan Covid-19. Meski begitu, hal tersebut hanya dapat dipergunakan dalam kerangka uji klinis sebagaimana rekomendasi dalam WHO Guideline for Covid-19 Treatment yang dipublikasikan pada 31 Maret 2021.
Sehingga, pembuktian Ivermectin dapat mengobati Covid-19 harus dilakukan melalui uji klinis. Oleh sebab itu, BPOM kini mengawal proses pelaksanaan uji klinis Ivermectin di rumah sakit, yang dilakukan Kementerian Kesehatan.
BPOM juga menggarisbawahi bahwa penggunaan Ivermectin di luar skema uji klinis hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosis dari dokter. Jika dokter bermaksud memberikan Ivermectin kepada pasien, maka penggunaannya harus sesuai dengan protokol uji klinis yang disetujui. "Dokter harus memberikan penjelasan secara rinci kepada pasien mengenai penggunaan dan risiko efek samping Ivermectin,” kata Penny.
CAESAR AKBAR | ANTARA | FAJAR PEBRIANTO
Baca: Erick Thohir Genjot Produksi Ivermectin 4 Juta per Bulan