Ada Desakan Lockdown, Bagaimana Dampaknya ke Transaksi Bursa Saham?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 29 Juni 2021 17:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo angkat bicara menanggapi desakan sejumlah pihak agar pemerintah memberlakukan lockdown untuk menekan penyebaran Covid-19.
Laksono menjelaskan, sepanjang pandemi yang terjadi pada tahun 2020 lalu, BEI dapat terus beroperasi dengan sejumlah penyesuaian. Beberapa aturan terkait pandemi, misalnya, telah diterbitkan untuk merespons kebijakan pemerintah pusat.
Sejumlah aturan itu mulai dari penyesuaian jam bursa, pelarangan transaksi short selling, hingga batas auto reject asimetris. “Apakah aturan ini akan ditambah atau dikurang, kita menunggu perkembangan yang ada,” ujar Laksono dalam konferensi pers virtual, Selasa, 29 Juni 2021. "Terutama terkait dengan apabila memang republik ini memberlakukan lockdown seperti yang beberapa hari ini santer diberitakan di media sosial."
Yang pasti, menurut Laksono, BEI akan terus berkoordinasi dengan Otoritas JasaKeuangan (OJK) dan self regulated organization (SRO) dalam menentukan langkah apa saja yang diperlukan untuk menjaga agar market tetap dapat beroperasi dalam kondisi darurat.
Ia lalu menceritakan bahwa terakhir kali BEI pernah ditutup dan tak melakukan perdagangan adalah saat krisis ekonomi 2008 silam. Hal tersebut seiring dengan kondisi ekstrem yang melanda pasar keuangan global kala itu.
“Secara personal, pendapat pribadi saya penutupan (lockdown) adalah opsi terakhir. Cuma kami berharap bursa juga buka terus dan kami tetap akan fleksibel dengan perkembangan saat ini,” ucap Laksono.
<!--more-->
Direktur BEI Inarno Djajadi sebelumnya menyebutkan sejumlah penyesuaian terkait pasar modal yang diterapkan sejak awal pandemi 2020 lalu masih berlaku. Beberapa aturan itu mulai dari penyesuaian operasional maupun relaksasi untuk emiten seperti kelonggaran batas waktu pelaporan laporan keuangan dan biaya pencatatan saham. “Ini akan selalu kita review secara berkala dan saat ini masih berlaku," ujarnya.
Kajian ulang berkala ini, menurut Inarno, bisa jadi bentuknya berupa relaksasi kebijakan tambahan. "Memungkinkan saja. Dari waktu ke waktu kita review apakah perlu penambahan atau pengurangan relaksasi tersebut."
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi berkukuh tak mengambil langkah lockdown dan memilih Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Mikro. Padahal sebelumnya langkah lockdown sudah diusulkan banyak pihak, tak hanya oleh kalangan epidemiolog, tapi juga dari para ekonom.
"Kenapa pemerintah memutuskan PPKM Mikro? Karena pemerintah melihat kebijakan PPKM Mikro masih menjadi kebijakan yang paling tepat untuk konteks saat ini, untuk mengendalikan Covid-19, karena bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat," ujar Jokowi seperti disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 23 Juni 2021.
Jokowi mengatakan, memang banyak masukan agar ia kembali menerapkan PPSBB hingga lockdown. Ia menghargai berbagai masukan tersebut. Tetapi pemerintah harus mengambil kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi, sosial, politik, serta berkaca pada pengalaman negara lain.
Sedangkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah melakukan lockdown selama dua pekan guna mengatasi penambahan kasus positif Covid-19. "Dengan langkah cepat lakukan lockdown, ujungnya biaya kesehatan bisa dihemat dan menguntungkan ekonomi juga. Cara berpikir pemerintah harus diubah," kata dia kepada Tempo, Rabu, 23 Juni 2021.
BISNIS
Baca: Jokowi Tolak Lockdown, Ekonom: Padahal Ekonomi Bisa Pulih Lebih Cepat