Rencana Pajak Sembako Jadi Polemik, Hipmi: Informasi Pemerintah Tak Utuh
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Jumat, 18 Juni 2021 14:24 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pungurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengomentari polemik rencana pengenaan pajak pertambahan nilai alias PPN atas sembako dan pendidikan.
Ajib menilai isu pajak sembako ini tidak akan menjadi polemik berkepanjangan apabila penyampaian informasi kepada masyarakat dilakukan secara utuh, lengkap dan komprehensif. Lalu pembahasan selanjutnya menuju finalisasi draft Rancangan Undang-undang pun perlu melibatkan semua stakeholder.
"Yang menjadi permasalahan mendasar, biasanya komunikasi yang dibangun oleh pemerintah belum optimal," ujar Ajib dalam keterangan tertulis, Jumat, 18 Juni 2021.
Pada prinsipnya, kata Ajib, PPN terbagi atas empat isu pokok, yaitu objek pajak, subjek pajak, tarif, dan tata cara pemungutan. Yang masuk dalam draft rancangan undang-undang tersebut baru sebatas tentang objek pajak.
"Tetapi persepsi yang timbul di masyarakat, bahwa sembako ini pasti kena tarif. Padahal tarif ini menjadi pembahasan selanjutnya, yang pengaturannya masih memerlukan produk hukum selanjutnya," ujar dia.
Menurut dia, pada prinsipnya, wacana pajak sembako adalah hal yang bagus. Selanjutnya, yang lebih penting dalah bagaimana fungsi pajak lebih optimal sebagai regulerend atau pengatur ekonomi. Untuk sembako yang dikonsumsi oleh masyarakat luas, bisa dikenakan tarif nol persen, alias sama dengan tidak ada pembayaran PPN oleh wajib pajak.
Sedangkan komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas, tutur Ajib, bisa dikenakan tarif misalnya 10 persen. Contohnya konsumsi ikan bisa dikenakan tarif nol persen, sedangkan untuk konsumsi sirip ikan hiu tarifnya 10 persen.
<!--more-->
Ajib mengatakan komunikasi yang kurang optimum kerap menjadi permasalahan mendasar. Contoh pertama, kata dia, ketika membahas tentang objek, pusaran polemik malah tentang tarif. Contoh kedua, ketika membahas tentang subjek, malah mengusulkan penurunan tresshold penghasilan kena pajak atau PKP ketika di waktu bersamaan menghapus PPnBM mobil.
Contoh ketiga, tutur Ajib, ketika mengeluarkan aturan tentang tata cara pemungutan PPN, malah terjebak seolah-olah membuat objek pajak baru dan mencabut kembali regulasi yang telah dikeluarkan, seperti halnya PMK Nomor 210 tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui e-commerce, yang kemudian ditarik kembali pada Tanggal 29 Maret 2019.
"Hal ini terjadi karena komunikasi yang terbangun antara otoritas dengan para stakeholders belum optimal. Konten yang substansi terkadang tidak tersampaikan secara presisi," tutur Ajib.
Ajib berujar penerimaan PPN, termasuk PPnBM pada tahun 2020 sebesar 448,4 triliun menopang sebesar 41,9 persen dari penerimaan pajak secara agregat tahun 2020. Ketika disandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun, mencerminkan masih banyak PR yang perlu didesain dan dieksekusi untuk meningkatkan penerimaan PPN.
"Ketika sembako menjadi bagian objek pajak, pemerintah mempunyai peranan sentral dengan kewenangan yang melekat, untuk mengoptimalkan instrumen fiskal sebagai bagian penyelesai masalah ekonomi bangsa ini, yaitu: pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan," kata dia.
Untuk selanjutnya, ia mengatakan pemerintah perlu konsisten menjadikan pajak sebagai aspek pengatur ekonomi dengan tujuan akhir untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, kata dia, adalah bagaimana membangun ruang komunikasi terbaik, sehingga informasi bisa tersampaikan secara utuh dan lengkap ke masyarakat.
"Ketika peraturan akan dibuat atau ketika mengedukasi atas peraturan yang telah dibuat. PPN atas sembako, seharusnya tidak perlu menjadi pusaran polemik yang tidak produktif," tutur Ajib.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan membahas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako dan jasa pendidikan bersama DPR RI. Kemenkeu menunggu masukan dari semua pemangku kepentingan berperan agar kebijakan yang dibuat mengedepankan prinsip keadilan.
“Rencana ini akan dibahas lebih lanjut bersama DPR dan tentunya akan mendengarkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan,” demikian keterangan resmi Kemenkeu di Jakarta, Rabu 16 Juni 2021.
Bahasan ini bagian dari revisi Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Rencananya, kebijakan PPN baru ini disusun sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kontribusi kelompok yang mampu dengan kompensasi dan subsidi yang lebih tepat sasaran.
CAESAR AKBAR | ANTARA