Soal Rencana Sembako Kena Pajak, Apa Kata Ditjen Pajak?
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 10 Juni 2021 14:18 WIB
TEMOPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan mengatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai alias PPN, termasuk soal penerapannya pada bahan kebutuhan pokok atau sembako masih menunggu pembahasan lebih lanjut.
"Dapat kami sampaikan bahwa sampai saat ini rancangan mengenai tarif PPN dan skema yang mengikutinya masih menunggu pembahasan," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor kepada Tempo, Kamis, 10 Juni 2021.
Sebelumnya, pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. Dengan demikian, produk hasil pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan bakal menjadi barang kena pajak yang dikenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Meski demikian, sejauh ini pemerintah belum menentukan tarif mana yang akan diberlakukan. Terdapat beberapa opsi yang menjadi pertimbangan, yakni PPN Final 1 persen, tarif rendah 5 persen, atau tarif umum 12 persen.
Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, bahan pokok atau sembako menjadi kelompok barang yang dikecualikan sebagai objek pajak. Peraturan Menteri Keuangan No. 99/2020 menyebutkan setidaknya ada 14 kelompok barang yang tidak dikenai tarif PPN, di antaranya adalah beras dan gabah, jagung, sagu, garam konsumsi, gula konsumsi, susu, kedelai, telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Amir Uskara mengatakan sampai saat ini belum ada pembicaraan antara pemerintah dan DPR mengenai rencana barang kebutuhan pokok alias sembako dikenakan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN.
Namun, ia menyarankan rencana itu dikaji ulang. Musababnya, dalam kondisi perekonomian normal pun, menurut Amir, pemerintah harus menghitung cermat apabila ingin mengenakan pajak untuk sembako.
"Apalagi dalam masa pandemi saat ini dimana daya beli masyarakat sudah tertekan, karena pasti berpotensi meningkatkan persentase penduduk miskin," kata Amir kepada Tempo.
CAESAR AKBAR | BISNIS