Soal Target Lifting Minyak Sejuta BPH 2030, Pemerintah Didesak Terbitkan Perpres
Reporter
Antara
Editor
Kodrat Setiawan
Selasa, 8 Juni 2021 08:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, meminta Pemerintah mengeluarkan regulasi setingkat Peraturan Presiden untuk mewujudkan target lifting minyak 1 juta barel per hari (bph) pada 2030.
"Selama tidak ada Perpres maka bisa dibilang Pemerintah tidak serius mewujudkan target lifting 1 juta bph ini," kata Mulyanto dalam siaran pers di Jakarta, Selasa, 8 Juni 2021.
Mulyanto menilai tanpa dasar hukum yang kokoh, penetapan target lifting minyak yang dibuat SKK Migas hanya mimpi dan angan-angan, yang tidak bisa direalisasikan.
Ia mendesak pemerintah agar mengeluarkan Perpres untuk mendukung penetapan target lifting minyak 1 juta bph tersebut agar komitmen atas target lifting minyak ini, bukan sekedar komitmen SKK Migas tetapi komitmen Pemerintah.
Menurut dia, bila ingin mengejar target 1 juta bph pada 2030, maka paling tidak target lifting minyak pada 2022 harus ada di rentang 705-725 ribu bph.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi lifting minyak tahun 2020 sebesar 707 ribu bph, target lifting minyak tahun 2021 sebesar 705 ribu bph dan rencana target lifting minyak di 2022 sebesar 686–726 ribu bph.
<!--more-->
Sementara realisasi cost recovery pada 2020 sebesar US$ 8,12 miliar perkiraan realisasi pada tahun 2021 sebesar US$ 8,52 miliar, sedang asumsi makro cost recovery untuk tahun 2022 sebesar US$ 8,65 miliar.
Sebelumnya, pemerintah mengejar target produksi satu juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 untuk menopang kebutuhan energi nasional.
Dalam waktu sembilan tahun ke depan, pemerintah akan melakukan sejumlah upaya guna mewujudkan target tersebut mulai dari menyederhanakan izin pengusahaan wilayah kerja minyak dan gas nonkonvensional, transformasi sektor hulu migas, hingga mendatangkan investasi senilai US$ 250 miliar.
"Dalam aturan baru nanti wilayah kerja eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi migas nonkonvensional tanpa kontrak baru," kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji.
Pemerintah juga akan melaksanakan studi migas nonkonvensional di seluruh wilayah kerja aktif untuk menentukan potensi, lalu melakukan pengeboran produksi.
Tutuka menjelaskan pemerintah akan memanfaatkan teknologi menggunakan multi-stage fractured horizontal (MSFH) sebagai proyek percontohan dengan estimasi biaya per sumur mencapai US$ 22 juta, yang diproyeksikan dapat memaksimalkan kegiatan eksplorasi dan ekspoitasi migas nonkonvensional.
<!--more-->
"Kami berharap dapat memperoleh data yang berguna melalui pengeboran ini," kata Tutuka.
Merujuk data Kementerian ESDM, potensi migas nonkonvensional di Indonesia bersumber dari coal bed methane atau gas yang tersimpan di dalam batubara sebesar 453,30 triliun kaki kubik gas (TCF).
Selain itu, terdapat potensi shale gas sebanyak 574 TCF. Shale gas merupakan gas yang terperangkap di batu serpih sebagai gas bebas yang mengisi pori-pori atau rekahan atau gas yang tersimpan di fragmen organik.
ANTARA
Baca juga: Batal, Percepatan Target Lifting Minyak 1 Juta Barel pada 2025