Soal Rencana Vaksinasi Mandiri, DPR: Jangan Sampai Ada Motif Terselubung
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Senin, 15 Februari 2021 18:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani mempertanyakan motif dibalik usulan pelibatan swasta dalam pelaksanaan vaksinasi mandiri. Pasalnya, sebelumnya rencana vaksinasi mandiri sempat dibatalkan pemerintah dan digantikan dengan vaksin gratis untuk semua penduduk.
"Isu vaksin mandiri oleh BUMN pernah mencuat di awal program vaksinasi, namun ditepis oleh pemerintah dengan menyampaikan secara terbuka bahwa vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia. Jika sekarang muncul lagi isu melibatkan sektor swasta untuk mengadakan dan melaksanakan vaksinasi secara mandiri atau gotong royong, saya perlu mempertanyakan apa motif dibalik usulan tersebut?" ujar Netty dalam keterangan tertulis, Ahad, 14 Februari 2021.
Netty mempertanyakan apakah langkah tersebut untuk meringankan biaya dan mempercepat kekebalan kolektif, atau justru ada motif lain di belakangannya. "Demi asas keadilan, jangan sampai ada motif terselubung," ujar Ketua Tim Covid-19 FPKS DPR RI ini.
Pemerintah mempertimbangkan vaksin mandiri atau gotong royong sebagai saran dari pengusaha, untuk meringankan pembiayaan dan mempercepat tercapainya imunitas kolektif. Sekitar 26 juta karyawan BUMN dan swasta akan mendapat prioritas vaksinasi setelah tenaga kesehatan dan tenaga pelayanan publik.
Menurut Netty, pemerintah telah menugaskan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan program vaksinasi dalam masa satu tahun dengan target, sasaran dan strategi vaksinasi yang terukur.
<!--more-->
"Fokus saja pada target, sasaran dan strategi yang dibuat agar kinerja Kemenkes dalam program vaksinasi ini terukur dengan jelas," ujarnya.
Wacana vaksin mandiri, kata Netty, selain membuat pemerintah tampak plin plan dalam membuat kebijakan, juga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat sebagai penerima vaksin. "Jangan sampai ada kesan pemerintah meninggalkan masyarakat miskin yang tidak mampu membayar vaksin."
Apalagi, kata Netty, hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Perpres nomor 99 tahun 2020.
Perpres ini, ujar dia, memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerjasama dengan lembaga/badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.
"Jangan sampai pemerintah memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan," tutur Netty.
<!--more-->
Netty juga mengkritisi pernyataan Kadin yang menyatakan perusahaan farmasi swasta dalam negeri berpeluang menjadi importir vaksin untuk program Vaksinasi Gotong Royong dengan mendatangkan dari beberapa produsen di seluruh dunia, kecuali Sinovac.
"Skema pengadaan vaksin di Indonesia sudah jelas. Selain EUA, ada juga standar kehalalannya. Sejauh ini baru Sinovac yg dapat approval BPOM dan MUI. Jangan sampai dengan dalih mempercepat, justru merusak skema dan tata aturan vaksin," ujar Netty.
Wakil ketua Fraksi PKS ini juga mengingatkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi.
"Negara harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi dan dilakukan pengawasan. Jangan sampai kran vaksin mandiri ini menimbulkan ‘potong kompas’ pengusaha dengan beli langsung dari produsen," kata Netty. "Akibatnya, potensi konglomerasi dan komersialisasi sangat terbuka. Jika sudah masuk skema konglomerasi, bagaimana nasib rakyat miskin untuk mendapat vaksin?".
BACA: Vaksinasi Covid-19 untuk Tenaga Kesehatan Sudah Capai Lebih dari 70 Persen
CAESAR AKBAR