Massa dari Serikat Buruh menggelar aksi unjuk rasa di di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu, 16 Desember 2020. Mereka tampak membawa caping sebagai atribut saat berdemo menolak UU Cipta Kerja. TEMPO/Muhammad Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Kolaborasi Masyarakat Usaha Kecil dan Menengah (Komnas UKM) Sutrisno Iwantono mengatakan Peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU Cipta Kerja agar jangan sampai kontra produktif bagi pengembangan usaha mikro kecil dan menengah.
"Kami melihat bahwa perumusan peraturan pemerintah belum sepenuhnya menampung aspirasi usaha mikro dan kecil," kata Iwantono dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 22 Januari 2021.
Iwantono antara lain meminta agar PP memberikan kepastian bahwa pesangon tidak merupakan kewajiban bagi usaha mikro dan kecil, melainkan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja. Demikian juga mengenai besaran upah juga didasarkan atas kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja.
Sebab, katanya, pada kenyataannya usaha mikro dan kecil atau UKM sudah pasti tidak akan mampu mengikuti peraturan yang berlaku bagi usaha menengah dan besar. "Kami minta agar Menteri Tenaga Kerja bersedia berdialog dengan kami," katanya.
Selanjutnya, Iwantono meminta UKM diberi kemudahan atau penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Insentif perpajakan tersebut seharusnya ditingkatkan batasan atasnya yang saat ini dikenakan pajak final 0,5 persen untuk peredaran tahunan sebesar maksimal Rp 4,8 miliar. Ia mengatakan besaran ini sudah tidak relevan lagi karena sudah bertahun-tahun belum dilakukan penyesuaian.
Ia mengatakan draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) besaran peredaran tahunan justru ini diturunkan menjadi Rp2 miliar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan dari UU Ciptaker yang bertujuan memberikan keringanan dan kemudahan bagi usaha mikro dan kecil.
"Kami mengusulkan agar batas ambang atas ditingkatkan menjadi peredaran usaha paling banyak Rp 7,5 miliar setahun, dengan mempertimbangkan tingkat inflasi suku bunga dan perkembangan ekonomi selama ini," katanya.