Khawatir Produk Baja Asal Cina Membanjir, Industri Domestik Minta Perlindungan
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 22 Januari 2021 09:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pabrik baja di dalam negeri mendesak agar pemerintah memberikan perlindungan berupa perpanjangan safeguard. Hal ini sangat diperlukan khususnya dalam menghadapi lonjakan produk impor baja murah asal Cina.
Direktur Public Relations PT Gunung Raja Paksi Tbk. (GRP), Fedaus, menyebutkan produksi baja Cina pada 2021 yang diprediksi mencapai 1,15 miliar ton cukup mengkhawatirkan. Angka tersebut naik ketimbang tahun 2020 yang mencapai 1,05 miliar ton.
“Akibat over supply baja Cina di negeri mereka, pasar Asia termasuk sangat khawatir bahwa pada 2021 dibanjiri produk baja dari Cina dengan harga murah,” kata Fedaus, , dalam keterangan tertulis, Rabu, 20 Januari 2021.
Lonjakan produksi baja Cina ini, menurut Fedaus, sudah disikapi oleh sejumlah negara dengan melindungi industri baja mereka. Malaysia, misalnya, melakukan antidumping barrier untuk produk baja lapis alumunium dari Cina sebesar 2,8–18,8 persen.
Adapun Korea Selatan menerapkan tarif 9,98–34,94 persen, dan Vietnam mematok tarif 3,06–37,14 persen sampai Desember 2025. “Jepang dan India sebagai produksi baja kedua dan ketiga dunia, menandatangani sinergi bekerja sama produksi untuk bersaing dengan Cina,” kata dia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Komite Pangamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) menerbitkan surat nomor 01/KPPI/01/2021 tertanggal 12 Januari 2021. Inti surat tersebut menolak perpanjangan saferguard PT GRP dengan alasan proses pemeriksaan telah lewat batas waktu.
<!--more-->
Penolakan perpanjangan safeguard ini yang kemudian membuat para pengusaha di dalam negeri membuat industri baja seperti PT GRP harus berjuang melawan produk impor murah yang membanjiri pasar dalam negeri, terutama dari Cina.
Oleh karena itu, kata Fedaus, GRP dan sejumlah pabrikan baja lainnya membutuhkan perlindungan pemerintah, khususnya di I – H section (H beam) berupa perpanjangan saferguard.
Tanpa perpanjangan perlindungan, Gunung Raja Paksi yang memiliki 5.600 karyawan tersebut terancam menutup beberapa unit produksi, yang berdampak pada PHK massal karyawannya.
“Akan timbul efek multiplier, termasuk menutup beberapa unit di pabrik, yang akan berdampak terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Investasi yang kami tanam sejak 2018 juga akan sia–sia,“ kata Fedaus.
Dalam kondisi yang serba sulit tersebut, ujarnya, GRP tetap berjuang agar perusahaan yang memproduksi baja ini terus beroperasi sehingga bisa mempertahankan seluruh karyawan yang berjumlah sekitar 5.600 orang. “Berbagai upaya PT GRP tersebut, sebenarnya sejalan dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan perekonomian yang sedang terpuruk."
BISNIS
Baca: Penjualan Produk Krakatau Steel Naik 2 Digit Sepanjang 2020