Perbaharui Aturan Fintech Lending, OJK Buka Saran dan Masukan
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 30 Desember 2020 03:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal memperbaharui regulasi penyelenggaraan fintech peer to peer lending. Penguatan regulasi dinilai dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan industri yang kian pesat.
“Saat ini sedang dalam proses menerima masukan-masukan dari berbagai pihak,” ujar Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Teknologi Finansial OJK, Munawar Kasan, Selasa 29 Desember 2020.
Sebagaimana diketahui, dalam tiga tahun terakhir akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending selalu berlipat ganda setiap tahunnya. Otoritas berharap peningkatan jumlah pinjaman tersebut dapat diiringi dengan peningkatan kualitas dan layanan yang diberikan. Saat ini terdapat total 151 perusahaan fintech lending yang terdaftar atau berada di bawah naungan OJK.
Salah satu kebijakan yang diterapkan otoritas adalah melakukan moratorium pendaftaran fintech lending baru, dan berfokus pada perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar lebih dulu.
“Kami juga tidak segan melakukan pencabutan atau pembatalan tanda terdaftar dengan pertimbangan banyak hal, ada yang sukarela karena menganggap bisnisnya tidak berjalan, ada juga yang tidak bisa memenuhi syarat OJK,” kata Kasan.
Selain pengetatan proses pendaftaran dan perizinan fintech, OJK juga bakal mengatur tentang ketentuan permodalan dan ekuitas, hingga tata kelola (governance) seperti kewajiban fit and proper test bagi pengurus dan pemegang saham pengendali perusahaan.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendukung rencana OJK merevisi aturan main fintech lending. Juru bicara AFPI Andi Taufan mengatakan asosiasi telah memberikan masukan langsung terhadap Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (RPOJK LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending. “Kami berharap regulasi ini dapat meningkatkan kualitas industri,” ujarnya.
<!--more-->
AFPI meminta regulator untuk mengedepankan pendekatan prinsipal dalam menyusun regulasi tersebut, sehingga kebijakan yang dihasilkan tetap menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri fintech lending. “Ini dengan pertimbangan bahwa penyelenggara tidak menghimpun atau mengelola dana masyarakat, serta bisnis model penyelenggara yang bersifat startup, sehingga perlu dapat bergerak cepat dan efisien,” kata Taufan.
Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society, Mirza Adityaswara berujar revisi regulasi yang dilakukan juga perlu mengedepankan aspek-aspek perlindungan konsumen, dan mengantisipasi praktek fraud di industri fintech lending.
“Peraturan yang baru harus dapat lebih menjamin pemenuhan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, dan pada saat yang sama juga mendorong inovasi dan pertumbuhan akses layanan keuangan digital,” ucap Mirza.
Dalam menghimpun aspirasi, regulator harus terbuka dan mengutamakan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, termasuk di dalamnya Kementerian Komunikasi, Teknologi, dan Informatika.
“Untuk hal-hal teknis, perlindungan siber juga harus masuk ke dalam agenda pembahasan,” katanya. Fungsi pengawasan harus dipastikan berjalan optimal, mengingat fintech senantiasa berkembang kompleksitasnya.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim mengamini perihal pentingnya upaya perlindungan konsumen dalam operasional fintech lending. Berdasarkan investigasi yang dilakukan BPKN selama ini masih ditemukan banyak pelanggaran terhadap hak-hak konsumen fintech lending.
Di antaranya adalah sistem keamanan yang belum memberikan hak atas kenyamanan kepada nasabah. Sehingga, di era digital saat ini sangat memungkinkan terjadi penyalahgunaan informasi secara mudah atau kebocoran data. “Ini harus dievaluasi agar tidak terulang kembali.”
Baca: OJK Perpanjang Restrukturisasi Pembiayaan non Bank hingga 17 April 2022
VINDRY FLORENTIN