DPR: RUU Larangan Minuman Beralkohol Usulan dari Fraksi PPP, PKS dan Gerindra
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 12 November 2020 18:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Illiza Sa'aduddin Djamal menyebutkan Rancangan Undang-undang tentang Larangan Minuman Beralkohol merupakan usulan dari Anggota DPR dari Fraksi PPP, Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra. Beleid itu diusulkan di antaranya agar bisa melindungi masyarakat dari dampak negatif menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol.
"Menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, dan menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari para peminum,” kata Illiza dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR, Selasa, 10 November 2020.
Illiza menjelaskan empat perspektif yang melandasi urgensi pembahasan RUU yang masuk dalam daftar 37 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 tersebut dalam materi yang disampaikan pada RDP Baleg DPR RI itu.
Perspektif pertama, yaitu perspektif filosofis, bahwa larangan minuman beralkohol diperlukan untuk mewujudkan nilai Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, dalam perspektif sosial. Banyaknya orang yang meninggal karena minuman beralkohol, timbulnya kejahatan dan kekerasan di masyarakat, membuat RUU Larangan Minuman Beralkohol menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan kestabilan sosial.
Sedangkan perspektif ketiga, dari perspektif yuridis formal, khususnya hukum pidana. Menurut Illiza, RUU Larangan Minuman Beralkohol sudah sangat mendesak karena ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah tidak memadai sehingga perlu dibentuk UU baru.
Keempat, dilihat dari aspek pembangunan hukum dalam rangka mewujudkan tujuan negara, tujuan hukum, dan tujuan hukum pidana.
Adapun dua jenis larangan yang diusulkan dalam RUU tersebut yaitu:
1. Setiap orang yang memeluk agama Islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan atau menjual, dan mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan memabukkan.
2. Setiap orang yang menggunakan, membeli dan atau mengkonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan memabukkan untuk kepentingan terbatas harus berusia minimal 21 tahun dan wajib menunjukkan kartu identitas pada saat membeli di tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
<!--more-->
Meski begitu, Illiza menyerahkan kembali kepada para anggota Badan Legislasi DPR lainnya yang hadir dalam rapat tersebut jika kedua larangan tersebut mau disesuaikan kembali seiring dengan pembahasan dan masukan-masukan dari para anggota Dewan.
Selanjutnya, pimpinan rapat, Wakil Ketua Baleg DPR Ibnu Multazam menyampaikan bahwa hendaknya pengusul RUU terkait dapat memberi penjelasan yang lebih substansi dan menjurus pada hal-hal pokok yang menjadi urgensi atau dasar pentingnya RUU tersebut.
Hal itu selain untuk memperkaya pemahaman Anggota Baleg dalam melakukan proses harmonisasi yang akan dilakukan, juga untuk menghindari pembahasan yang serupa dengan pembahasan DPR periode yang sebelumnya (2014-2019).
Ibnu menjelaskan sudah banyak dinamika yang terjadi pada pembahasan RUU tersebut pada periode lalu tapi kemudian ditutup. Belakangan, ada norma-norma baru yang disampaikan pengusul, antara lain: setiap orang dilarang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan mengkonsumsi minuman beralkohol.
"Lah ini berarti pabrik-pabrik minuman beralkohol juga harus dihentikan produksinya. Dilarang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, mengonsumsi minuman beralkohol," kata Ibnu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai aturan yang melarang konsumsi minuman beralkohol tidak perlu dibahas. Pasalnya, selama ini sudah ada sejumlah beleid yang mengatur tentang penggunaan alkohol yang membahayakan.
Erasmus mencontohkan aturan itu ada di dalam Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP dan Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Minuman Beralkohol.
Menurut Erasmus, seluruh tindak pidana dalam RUU larangan minuman beralkohol harusnya diharmonisasikan pada pembahasan RKUHP yang sedang dibahas di DPR. Adapun pendekatan pelarangan minuman beralkohol malah dinilai dapat memberi dampak negatif untuk peradilan pidana di Indonesia.
Untuk itu, ICJR mendorong DPR agar kritis terhadap pengusulan RUU itu. Belum lagi, diperlukan riset yang mendalam mengenai untung dan rugi dilakukannya kriminalisasi terhadap seluruh tindakan yang terkait dengan produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minuman beralkohol.
"Sudah cukup negara berpikir pendek dengan hanya menghasilkan kebijakan yang berorientasi ancaman pidana. Peran negara adalah melakukan tata kelola kebutuhan masyarakatnya," tutur Erasmus dalam keterangannya, Rabu, 11 November 2020.
ANTARA
Baca: Pemerintah Diminta Batalkan Larangan Minuman Beralkohol