Pasal Migas di Omnibus Law UU Cipta Kerja, Tercantum Meski Tak Pernah Disetujui
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 19 Oktober 2020 17:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat masih memperdebatkan sejumlah pasal di Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja setelah pengesahan pada 5 Oktober 2020 lalu. Namun anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, mengklaim tak ada lagi pembahasan substansi setelah omnibus law disahkan.
Ia mengatakan pertemuan Baleg hanya untuk menyisir ulang pasal-pasal dalam aturan itu. "Ketua Kelompok Fraksi juga ikut memantau," kata Firman dikutip dari Majalah Tempo edisi 17 Oktober 2020.
Salah satu yang diperdebatkan setelah pengesahan ialah penambahan Pasal 46 ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada 30 September lalu, Fraksi Golkar mengusulkan perubahan ayat (5) yang menyatakan pengaturan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa oleh Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas Bumi harus mendapatkan persetujuan menteri.
Anggota Badan Legislasi dari Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, mengatakan penambahan itu dibahas oleh tim perumus dan tim sinkronisasi pada 2 Oktober 2020 di Le Eminence Hotel Convention and Resort, Cibodas, Jawa Barat. Adapun Firman Soebagyo bercerita, usulan itu berawal dari surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2 Mei 2020 lalu.
Dalam salinan surat yang diperoleh Tempo, Arifin mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan BPH Migas bisa beralih ke tangan Menteri Energi dengan persetujuan presiden. Usulan ini diteruskan oleh Fraksi Golkar lewat rapat tim perumus dan tim sinkronisasi.
<!--more-->
Menanggapi perubahan itu, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa bersurat kepada pimpinan Badan Legislasi pada Sabtu, 3 Oktober 2020 lalu. Dalam suratnya, BPH Migas menekankan pentingnya regulator yang bersifat independen dalam penentuan tarif pengangkutan. Fanshurullah Asa menulis, "Usulan pengalihan kewenangan penetapan toll fee ke Kementerian ESDM menjadi tidak relevan." Mulyanto membenarkan adanya surat dari Kepala BPH Migas itu.
Namun Pasal 46 ayat (5) itu tetap masuk draf 905 halaman yang dibawa ke rapat paripurna 5 Oktober lalu. Beberapa hari seusai rapat paripurna, anggota Baleg bertemu kembali. Anggota Baleg dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo meminta agar ayat itu didrop. Alasannya, pemerintah dan DPR tidak pernah menyetujui penambahan ayat ini dalam rapat kerja.
Firman Soebagyo mengakui, perwakilan pemerintah memang tidak pernah mengusulkan pasal ini. "Saat kami minta penjelasan, jawaban wakil pemerintah tidak meyakinkan," kata Firman.
Andreas mengatakan, karena ayat (5) sudah dihapus, seharusnya keseluruhan bunyi Pasal 46 tak dicantumkan lagi. Namun pasal ini tetap ada dalam naskah 1.035 halaman dan naskah 812 halaman yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Kalau kembali ke undang-undang existing (sebelumnya), kan tidak perlu dicantumkan," kata dia. "Saya sudah meminta itu dihapus."
BUDIARTI UTAMI PUTRI | MAJALAH TEMPO
Baca: Buntut Debat Soal Omnibus Law UU Cipta Kerja, Tagar Menkominfo Viral di Twitter