Kadin Usul Skema Cost Recovery untuk Proyek Energi Panas Bumi
Reporter
Antara
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 22 September 2020 13:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan penerapan skema biaya operasi yang dikembalikan (cost recovery) untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi di Indonesia.
"Dengan skema cost recovery, apabila ditemukan panas bumi, maka sunk cost-nya dikembalikan. Itu akan meng-attract investasi geothermal di Indonesia," kata Ketua Komite Tetap Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan Kadin Indonesia Satya Widya Yudha dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 22 September 2020.
Satya mengatakan risiko pengeboran panas bumi serupa dengan minyak dan gas (migas). "Risiko drilling panas bumi itu tinggi, sama seperti migas. Kalau semua risiko ditanggung investor, maka akan berat," katanya.
Menurut dia, pengembangan EBT juga memerlukan insentif nonfiskal berupa jaminan penyediaan lahan oleh pemerintah, sehingga biaya bisa ditekan cukup besar.
Satya juga mendorong agar dalam RUU EBT memasukkan klausul pembentukan badan khusus yang menangani EBT.
<!--more-->
"Badan khusus ini bukan menambah birokrasi, tapi bagaimana bisa mengeksekusi proyek, sehingga merangsang investor. Bahkan, kalau bisa badan itu one door service seperti SKK Migas. Ini akan bisa menjadi solusi pengembangan EBT," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR periode 2014-2019 itu.
Satya juga menyampaikan kunci utama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) adalah soal harga yang tidak kompetitif.
"Tidak masuknya investasi EBT secara masif karena harga yang dipatok di bawah delapan sen dolar AS per kWh. Jadi, kalau ada investor dengan tawaran enam sen dolar, maka tidak akan masuk," katanya.
Dalam rapat tersebut, Satya juga menyoroti soal skema Build, Operate, Own, and Transfer (BOOT) sesuai Permen ESDM No 50 Tahun 2017.
Beleid itu menyebutkan aset pembangkit yang dibangun swasta akan menjadi milik PT PLN (Persero) setelah kontrak berakhir. "Tapi, masalahnya, perbankan tidak bisa memberikan jaminan kepada swasta yang membangun pembangkit itu. Jadi, investor sulit membangun memakai skema BOOT," katanya.
<!--more-->
Permasalahan lainnya, perbankan tidak bisa mengalihkan kontrak kepada pengembang swasta (independent power producer/IPP) yang lebih mampu. "Kalau ada IPP yang default atau kolaps karena sesuatu hal, maka perbankan tidak bisa mengalihkan kontraknya ke IPP yang lebih mampu," katanya.
Soal lain, ada klausul dalam perjanjian jual beli listrik (Power Purcashe Agreement/PPA) yang menyebutkan, saham perusahaan yang masih dalam tahap konstruksi pembangkit, tidak dapat dijaminkan. "Ini sesuatu yang tidak lazim, kalau mau berkompetisi dengan energi fosil," ujarnya.
Baca juga: 7 Terobosan yang Diperlukan untuk Atasi Covid-19 Menurut Kadin