Setelah Rugi Rp 11,13 Triliun, Pertamina Kejar Pemulihan Laba pada Akhir 2020
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 27 Agustus 2020 16:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - PT Pertamina (Persero) tengah mengejar pemulihan laba hingga akhir 2020. Perusahaan pelat merah ini sebelumnya dilaporkan menanggung kerugian Rp 11,13 triliun sepanjang semester I 2020.
"Ke depannya, kinerja makin membaik. Dengan laba bersih (unaudited) di Juli sebesar US$ 408 juta, kerugian dapat ditekan dan berkurang menjadi US$ 360 juta atau setara Rp 5,3 triliun. Dengan memperhatikan tren yang ada, kami optimistis kinerja akan terus membaik sampai akhir tahun 2020,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dalam keterangannya, Kamis, 27 Agustus 2020.
Memasuki semester kedua 2020, kinerja operasional Pertamina secara keseluruhan diklaim mulai positif. Pada Juli 2020, Pertamina mencatat volume penjualan seluruh produk mencapai 6,9 juta kilo liter (KL). Angka ini meningkat 5 persen dibandingkan dengan Juni 2020 yang hanya 6,6 juta KL.
Sedangkan dari sisi pemasaran, pada Juli, Pertamina mencatat nilai penjualan perusahaan berada di kisaran US$ 3,2 miliar atau naik 9 persen dari bulan sebelumnya yang hanya US$ 2,9 miliar. Adapun Pertamina menanggung rugi karena selama masa pandemi, permintaan BBM melorot drastis.
Pada Februari hingga Mei 2020, penurunan permintaan di kota-kota besar mencapai lebih dari 50 persen. Kemudian, penurunan pendapatan di sektor hulu seperti yang tercantum dalam Laporan Keuangan Unaudited Juni 2020 anjlok hingga 20 persen.
Penurunan pendapatan menyebabkan laba turut tertekan. Pada pada Januari 2020, Pertamina masih membukukan laba bersih US$ 87 juta. Namun memasuki tiga bulan setelahnya, mulai mengalami kerugian bersih rata-rata US$ 500 juta per bulan.
<!--more-->
Fajriyah menjelaskan, Pertamina kemudian menjalankan strategi dari berbagai aspek baik operasional maupun finansial. Setelah merugi, perusahaan kembali bisa mencatatkan laba bersih pun pada Mei hingga Juli 2020 dengan rata-rata US$ 350 juta per bulan.
Di samping itu, kinerja laba operasi dan Ebitda pun terdata masih positif, yakni masing-masing US$ 1,26 miliar dan US$ 3,48 miliar. "Tentu saja, perbaikan kinerja tidak semudah membalikkan tangan, perlu proses dan perlu waktu. Sekarang ini, sudah terlihat dengan kerja keras seluruh manajemen dan karyawan, kinerja Pertamina mulai pulih kembali," katanya.
Saat ini, Fajriyah menerangkan, Pertamina melakukan efisiensi belanja operasional dengan memotong anggaran hingga 30 persen. Perusahaan minyak negara juga melakukan prioritasi belanja modal dengan sangat selektif hingga berkurang 23 persen.
Untuk menjaga stabilitas perusahaan, manajemen pun melakukan renegosiasi kontrak, memitigasi rugi selisih kurs, dan menjalankan operasional dan investasi untuk mempertahankan produksi hulu. Kemudian, meningkatkan strategi marketing dengan program diskon dan loyalty customer untuk meningkatkan pendapatan serta mengulas hingga memperbaiki model operasi kilang.
Kendati mengalami tekanan bisnis, Fajriyah memastikan perusahaan berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Bahkan Pertamina tetap menjalankan proyek-proyek strategis yang menyerap ribuan tenaga kerja, seperti di proyek pembangunan kilang RDMP & GRR serta proyek infrastruktur hulu dan hilir lainnya untuk membangun ketahanan dan kemandirian energi nasional,” ucapnya.
Baca juga: DPR Akan Panggil Ahok Minta Penjelasan Kerugian Pertamina Tembus 11 Triliun