Apakah pengalaman itu yang akhirnya mendorong Anda untuk mendirikan Jouska? Iya, jadi saya terdorong setelah ketemu klien yang bercerai dengan suaminya karena persoalan investasi. Istrinya itu menempatkan uangnya ke investasi bodong. Saya yang hampir tidak pernah berurusan dengan itu, karena di market A kan bicaranya sudah bagaimana dapat kredit bunganya murah, dan bagus, atau bagaimana investasi yang strategis. Jadi sangat berbeda dengan kasusnya kelas menengah.
Waktu itu saya cukup kaget, ada orang diceraikan karena investasi bodong. Kemudian, saya coba kulik kasusnya, dan ternyata ada banyak korbannya. Setelah saya cari tahu, ternyata korbannya itu sebenarnya tidak paham mengenai investasi. Mereka justru mendapatkan saran dari financial planner untuk berinvestasi ke produk itu.
Jadi, financial planner yang seharusnya memberikan saran terbaik bagi klien justru malah menyesatkan dan merugikan klien tersebut. Hal itu menyadarkan saya bahwa ada gap yang cukup lebar antara kalangan atas dengan kalangan menengah. Dari kasus tersebut juga saya akhirnya terdorong untuk memulai bisnis saya sendiri.
Lantas, kapan Jouska mulai efektif beroperasi? Jouska ini mulai beroperasi efektif pada 27 Oktober 2015. Namun, sebelumnya saya tidak punya network di Jakarta, maka saya punya asisten untuk menghubungi beberapa financial planner yang sudah terkenal. Jadi pada batch awal itu kita punya 5 penulis buku, dan sudah prominent sebagai financial planner. Waktu mau mulai sekitar 6 bulan pertama, kita harus menentukan produk dan layanan.
Saya juga menemukan kenyataan bahwa dari financial planner yang eksisting dengan yang pernah saya jalani buat market itu ternyata gap-nya jauh. Ketika ditanya hal-hal yang lebih teknis itu banyak yang tidak tahu.
Kebanyakan financial planner yang praktek itu belum punya lisensi WMI [Wakil Manajer Investasi] dan WPPE [Wakil Perantara Pedagang Efek]. Padahal di industri ini lisensi itu menjadi hal yang mendasar.