Chatib Basri Ungkap Cara Agar RI Tak Jatuh ke Jurang Resesi
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 23 Juli 2020 05:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah ekonom menakar dampak pembukaan kembali aktivitas ekonomi di tengah situasi pandemi terhadap upaya mendorong pertumbuhan. Setelah pemerintah memproyeksikan kinerja pertumbuhan pada triwulan II hampir pasti negatif, Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri mengatakan triwulan III menjadi momentum perekonomian untuk kembali bangkit agar tak tergelincir ke dalam jurang resesi.
“Re-opening jelas membawa dampak positif, namun persoalannya apakah protokol kesehatan yang diberlakukan dalam pelaksanaannya cukup atau tidak untuk membuat pertumbuhan kita positif,” ujarnya kepada Tempo, Rabu 22 Juli 2020.
Berdasarkan data Google Mobility hingga 17 Juli 2020, aktivitas di sejumlah tempat publik dan pusat ekonomi mulai menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan periode pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada Maret-Mei lalu. Chatib mengatakan penerapan protokol kesehatan membuat aktivitas ekonomi tidak berada dalam kapasitas maksimal.
Bioskop, restoran, dan mall misalnya harus membatasi jumlah pengunjung untuk mematuhi ketentuan social distancing. Hal tersebut kemudian berdampak pada skala ekonomi, yang mana merupakan faktor penting untuk menentukan apakah suatu usaha akan bertahan atau tidak.
“Contoh lain industri maskapai sekarang penumpangnya nggak mungkin bisa 100 persen karena ada aturan jarak minimal antar penumpang. Tapi mereka tetap harus membayar biaya tetap secara penuh seperti bensin dan sewa parkir pesawat,” kata dia.
Menurut Chatib, pada kondisi saat ini pelaku usaha membutuhkan perhitungan skala ekonomi pada tingkat tertentu agar tetap mendapatkan keuntungan. “Sebagai gambaran kasar maskapai itu butuh load lebih dari 60 persen agar bisa terus bertahan dan tidak merugi.” Skala ekonomi tersebut dapat berbeda-beda untuk setiap usaha, dan turut bergantung pada upaya efisiensi yang dilakukan.
Chatib berujar dengan pertimbangan tersebut, maka kunci agar pemulihan ekonomi bisa terus berlanjut adalah penanganan aspek kesehatan dalam pandemi. “Kalau mau ekonomi kembali ya pandemi harus selesai dulu,” ujarnya.
<!--more-->
Pola pemulihan ekonomi ke depan perlu menjadi perhatian, sebagai tolok ukur keberhasilan kebijakan re-opening ekonomi. “Apakah setelah ini perbaikan akan terus terjadi (V Shape), atau flat (L Shape), atau ada pembalikan namun membutuhkan waktu yang lama (U Shape),” ucap Chatib.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J. Rachbini mengamini perihal pentingnya keseriusan penanganan wabah dan penguatan disiplin protokol kesehatan sebelum membuka Kembali aktivitas ekonomi.
“Perbaiki dulu aspek kesehatannya, kalau masih dalam kondisi pertambahan kasus positif naik terus seperti saat ini ya itu tidak tidak akan mendorong ekonomi. Malah kalau pemerintah bersikeras mendorong dan membuka aktivitas akan membuat ekonomi jauh lebih buruk lagi,” katanya.
Didik menambahkan peluang resesi berada di depan mata dan sulit terhindarkan dalam kurun waktu singkat. “Kami memperkirakan triwulan III masih akan minus, tak jauh berbeda kondisinya dengan triwulan II, sehingga secara teknis terjadi resesi.”
Pengamat Ekonomi dari Universitas Padjajaran, Arief Anshory Yusuf mengatakan walau aktivitas perekonomian mulai dibuka, tingkat keyakinan atau confidence masyarakat belum sepenuhnya pulih.
“Buktinya mayoritas masyarakat dengan atau tidak dengan PSBB mereka masih membatasi keluar rumah, karena tidak dapat dipungkiri ketakutan atau paranoid akan wabah yang belum hilang itu masih ada,” ujarnya.
Dia menuturkan hal itu menyebabkan pemulihan ekonomi pasca re-opening ekonomi diragukan bergulir dengan cepat. “Kecuali pemerintah bisa berhasil membuat masyarakat percaya angka kasus Covid-19 akan turun.”
<!--more-->
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan pertumbuhan ekonomi triwulan II akan berkisar antara minus 5,1 persen hingga minus 3,5 persen, dengan titik tengah minus 4,3 persen, atau jauh lebih dalam dari prediksi titik tengah sebelumnya yaitu minus 3,8 persen. “Maka itu kami sangat mengejar pemulihan di triwulan III, karena triwulan II bisa dikatakan sangat berat,” katanya.
Meski berupaya menggenjot berbagai indikator perekonomian, mulai dari belanja pemerintah, konsumsi masyarakat, hingga investasi, Sri Mulyani memastikan pemerintah akan terus mengawasi kedisiplinan penerapan protokol kesehatan.
“Kami sepakat bahwa kecepatan membuka ekonomi tidak boleh mengkompromikan masalah kesehatan, karena malah bisa menekuk lagi ekonominya kalau aspek kesehatan ini diabaikan dan diremehkan.”