Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra (tengah) bersama enam direktur lainnya dalam acara temu media di kantor Garuda Indonesia, Tangerang, Kamis, 23 Januari 2020. TEMPO/Francisca
TEMPO.CO, Jakarta – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memutuskan tidak akan mematok harga jual jasa tes reaktif corona atau rapid test terlalu murah. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya bakal menyesuaikan harga tes uji cepat sesuai dengan batas yang diatur oleh pemerintah.
“Kami enggak terlalu murah lah. Kami sesuaikan dengan mitra kami, tapi juga enggak mau mengambil untung,” tutur Irfan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.
Irfan menjelaskan, dengan harga yang ditawarkan, rapid test yang dikeluarkan Garuda Indonesia beserta mitra ketiganya tidak bersifat asal-asalan. Sebab, alat ujinya dipastikan telah tersertifikasi oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Adapun saat ini, Garuda menjalin kerja sama dengan anak usaha Pertamina, PT Pertamina Bina Medika, untuk membuka layanan rapid test bagi penumpang. Layanan tersebut disediakan di klinik-klinik milik Garuda, yakni Garuda Sentra Medika.
Di samping menjalin kerja sama dengan Pertamedika, perseroan menggandeng Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menyediakan fasilitas rapid test bagi penumpang Garuda dari Makassar. “Pemda bikin rapid test gratis, dan kami sudah kerja sama dengan mereka,” ucapnya.
Sejumlah perusahaan maskapai menggandeng pihak-pihak ketiga untuk menyediakan layanan tes uji reaktif corona bagi pelanggannya. Selain Garuda, Sriwijaya dan Lion Air Group telah menawarkan fasilitas itu lebih dulu. Lion Air mematok harga rapid test senilai Rp 95 ribu. Sedangkan Sriwijaya pada bulan lalu menawarkan seharga Rp 300-450 ribu.
Kementerian Kesehatan baru-baru ini menetapkan batas tertinggi biaya rapid rest, yaitu seharga Rp 150 ribu. Kebijakan ini termaktub dalam Surat Edaran nomor HK.02.02/I/2875/2020 mengenai batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo pada Senin, 6 Juli 2020.
Surat itu menyebutkan bahwa biaya paling mahal pelayanan rapid test ditentukan oleh pemerintah karena selama ini harga yang ditetapkan masyarakat berbeda-beda. "Harga yang bervariasi untuk melakukan rapid test menimbulkan kebingungan masyarakat. Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan," seperti tertulis di surat.