Tumpang Tindih Aturan di Balik Penyiksaan ABK di Kapal Cina
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 11 Juni 2020 14:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dua anak buah kapal (ABK) Indonesia diduga telah mengalami penyiksaan selama berbulan-bulan di kapal ikan Cina, LU QIAN YUA YU 901. Di balik tragedi ini, ada persoalan izin dan aturan hukum yang saling tumpang tindih antar kementerian.
"Untuk saat ini bisa jadi ada kekosongan hukum," kata Plt Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, Aris Wahyudi kepada Tempo di Jakarta, Selasa, 10 Juni 2020.
Sebab, izin kepada sebuah perusahaan untuk menyalurkan ABK di kapal asing belum satu pintu. Dalam temuan di lapangan, kata Aris, bahkan ada perusahaan yang melanggar karena hanya menggunakan izin perdagangan dari dinas perdagangan daerah setempat.
Padahal, penempatan ABK di kapal asing harus memperoleh izin dari Kemenaker berupa Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI). Alternatifnya, bisa juga lewat izin di Kementerian Perhubungan lewat Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
Permasalahan ini diungkapkan oleh Aris di tengah kasus penyiksaan terhadap dua ABK, Andri Juniansyah asal Sumatera Utara dan Reynafli asal Nusa Tenggara Barat. Kedua ABK mengalami intimidasi di atas kapal dan belum menerima gaji sejak melaut pada 24 Januari 2020. Hingga akhirnya, mereka melompat ke laut di Selat Malaka dan diselamatkan oleh nelayan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, setelah 7 jam mengapung.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat Andri dan Junianysah adalah korban ke 30 dan 31 di kapal ikan Cina. Sejak November 2019, DFW mencatat sudah ada 31 ABK yang menjadi korban kekerasa dan penyiksaan. 21 di antara mereka selamat, 7 meninggal dunia, dan 3 hilang. Mereka menjadi ABK setelah direkrut oleh beberapa penyalur.
Adapun kedua ABK direkrut oleh PT Duta Putra Group dan PT Dasa Putra. Dari konfirmasi yang dilakukan, perusahaan ini tidak memiliki SIP3MI di Kemenaker ataupun SIUPPAK di Kementerian Perhubungan.
Selain itu, Aris mengatakan masalah juga muncul dari perizinan yang tidak satu pintu ini. Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran seperti Andri dan Reynafli sudah disiapkan.
RPP bakal segera terbit karena sedang dilakukan proses harmonisasi di Sekretariat Negara. Setelah aturan ini terbit, maka semua izin penempatan ABK di kapal asing hanya dilakukan satu pintu di Kemenaker. Selain itu, pengawasan terhadap ABK di kapal asing pun bisa lebih maksimal.
<!--more-->
Sementara itu, Koordinator Fisher Center Bitung, Diani, mengatakan kasus yang menimpa Andri dan Reynalfi hanyalah satu dari sekian kasus yang dialami ABK. Di daerah Bitung, Sulawesi Utara, Fisher Center sudah menerima 13 aduan dari ABK.
Masalah mereka beragam. Mulai dari penahanan dokumen oleh perusahaan penyalur, sakit di atas kapal yang mengakibatkan lumpuh, intimidasi dan ancaman. Salah satu yang mengadu tak lain adalah istri dari Andri Juniansyah.
Dari laporan istri Andri, PT Duta Putra Group ini beralamat di Plaza THB, Bekasi, Jawa Barat. Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih mencoba menghubungi pihak penyalur ini.
Saat ini, kata dia, masing-masing kementerian masih memiliki ego sektoral karena sama-sama memiliki regulasi menangani penempatan ABK di kapal asing. Pengawas di lapangan banyak, namun tidak ada gerakan bersama melindungi ABK.
Di sisi lain, masih ada beberapa aturan tumpang tindih antara regulasi yang ada. Antara UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Permenhub Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awal Kapal.
Pada akhirnya, kata Diani, yang dirugikan adalah ABK yang menjadi korban. Sebab, ketidakpastian hukum ini bisa menjadi dalih oleh penegak hukum untuk menolak melanjutkan penyidikan atas pelanggaran hukum yang sudah dilaporkan.
Tak hanya Fisher Center Bitung, pemerintah pun telah menemukan adanya kasus pelanggaran terhadap ABK yang tidak jelas proses hukumnya. Kamis, 2 Juni 2020, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah melaporkan 415 kasus yang dialami ABK kepada Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri.
Ini adalah kasus sepanjang 2018 hingga Mei 2020 yang tidak semuanya ditindaklanjuti dan berakhir di pengadilan. "Itu baru dua tahun, bayangkan kalau datanya 5 sampai 10 tahun, bisa ada ribuan kasus," kata Kepala BP2MI Benny Benny Rhamdani kepada Tempo di Jakarta, Senin, 8 Juni 2020.
Adapun Andri dan Reynafli kini sudah dalam perlindungan BP2MI. Terakhir, mereka berada di shelter BP2MI di Batam, Kepulauan Riau dan siap untuk dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Meski demikian, masih ada anak buah kapal lain di kapal ikan LU QIAN YUA YU 901. Sampai hari ini, belum ada kabar mengenai nasib mereka.