Tak Setuju Opsi Cetak Uang, Faisal Basri Ingatkan Moral Hazard

Reporter

Caesar Akbar

Senin, 18 Mei 2020 18:31 WIB

Pengamat ekonomi, Faisal Basri berbincang dengan Ketua Umum APINDO, Sofjan Wanandi saat seminar nasional yang menyoroti dampak tsunami finansial dunia pada Indonesia di Jakarta, Rabu (21/1). ANTARA/Andika Wahyu

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengingatkan tingginya risiko moral hazard atau penyelewengan apabila Indonesia mengambil opsi cetak uang untuk membiayai anggaran pemerintah di tengah pandemi Covid-19.

"Moral hazard membuat cetak uang bukan opsi yang dikedepankan. Kita kubur untuk sementara waktu," ujar dia dalam konferensi video, Senin, 18 Mei 2020.

Ia mengatakan cetak uang adalah kebijakan yang pernah ditempuh Indonesia di masa lampau. Kebijakan ini juga pernah dilakukan beberapa negara, misalnya Zimbabwe, dan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. "Hampir semua mengarah ke nestapa dan bencana."

Menurut Faisal, alternatif pembiayaan melalui cetak uang hanya berhasil dengan syarat negara bebas dari korupsi dan bukan rezim oligarki atau corporatocracy. Ia mengibaratkan cetak uang bisa berhasil kalau negara dipimpin oleh para dewa dan para malaikat yang tidak punya kepentingan.

Sementara, selama ini pemerintahan dikelola oleh politikus yang dipilih setiap lima tahun, sehingga cara pandang dan basis waktunya sempit. "Cara pandangnya sempit dan cenderung mengalihkan masalah ke depan bukan di periode dia. Jadi spending saja tapi enggak mau intensifkan penerimaan," tutur Faisal. Akibatnya, akan terjadi moral hazard dari kebijakan tersebut.

Sebelumnya, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat MH Said Abdullah merekomendasikan sejumlah alternatif kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dalam penanganan pandemi virus Corona.

Pertama, adalah dengan melakukan kebijakan pelonggaran kuantitatif lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.

Selanjutnya, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.

Selain itu, Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan pemerintah. Mengingat, saat ini situasi ekonomi global sedang melambat dan tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan.

Atas usul tersebut, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan BI tidak akan melakukan pencetakan uang di luar mekanisme lazim. "Ini mohon maaf kebijakan itu tidak lazim dengan kebijakan moneter yang prudent. Agar Masyarakat paham, mohon pandangan itu tidak lagi disampaikan. Pandangan itu tidak akan dilakukan di BI," kata Perry dalam siaran langsung Rabu, 6 Mei 2020.

CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI

Berita terkait

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

3 jam lalu

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6,25 persen bisa berdampak pada penyaluran kredit.

Baca Selengkapnya

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

4 jam lalu

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

BI mempersiapkan perluasan cakupan sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

17 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

1 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

3 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

3 hari lalu

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.

Baca Selengkapnya

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

3 hari lalu

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 32 poin ke level Rp 16.187 per dolar AS dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

3 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

3 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

3 hari lalu

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.

Baca Selengkapnya