Cerita di Balik Pernyataan Luhut Soal Corona dan Cuaca Panas
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rahma Tri
Senin, 6 April 2020 06:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan baru-baru ini mengatakan bahwa virus corona alias Covid-19 diperkirakan tidak kuat dengan cuaca panas Indonesia. "Dari hasil modelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi maka untuk Covid-19 itu enggak kuat," ujar dia dalam konferensi video, Kamis, 2 April 2020.
Pernyataan Luhut ini pun langsung heboh dan mengundang pro kontra. Sebab, virus corona diyakini tetap menyebar sekalipun Indonesia yang memiliki cuaca panas. Polemik muncul karena Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan belum ada bukti ilmiah jika Covid-19 tidak bertahan di cuaca panas. Setelah itu, terbit siaran pers dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan ada pengaruh antara cuaca dan penyebaran virus.
Lalu seperti apa duduk persoalan antara cuaca panas dan penyebaran Covid-19 ini?
Cerita bermula saat virus corona pertama kali muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020. Saat itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati langsung mengumpulkan sejumlah pakar untuk mengamati fenomena penyebaran virus ini. Sebab dalam gelombang pertama, Desember hingga Februari, virus pertama kali menyebar di Cina, Italia, Perancis, hingga Iran.
Barulah pada gelombang kedua, virus menyebar luas di Malaysia, Singapura, hingga Indonesia. Sepanjang Maret 2020, tim dari BMKG mengumpulkan literatur dan kajian ilmiah yang berkaitan dengan pengaruh cuaca terhadap penyebaran virus. Mereka melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus corona.
Namun literatur tersebut, baru melihat pengaruh cuaca dan kelembaban terhadap virus terdahulu seperti Sars-CoV--1 atau Sars pada 2003, dan virus influenza. Barulah dari kedua kasus tersebut, muncul asumsi akademik terhadap penyebaran virus corona saat ini, yang masih satu keluarga dengan Sars dan memiliki nama ilmiah Sars-CoV-2.
Salah satu ahli yang diminta untuk memberikan pandangan adalah Guru Besar Mikrobiologi UGM Tri Wibawa. Kepada Tempo, Tri mengatakan hubungan antara cuaca dan kecepatan transmisi virus ini perlu dilihat secara hati-hati.
Dalam kasus Sars, kata Tri, virus memang lebih tidak stabil pada suhu yang tinggi alias cuaca panas. Sehingga, penyebaran virus lebih kecil, dibandingkan daerah dengan suhu rendah. Sedangkan pada kasus virus influenza, respon imun manusia lebih kuat pada kondisi suhu yang lebih tinggi. Kedua situasi inilah yang kemudian diasumsikan terjadi juga pada virus corona. “Ini premis ilmiah,” kata dia.
<!--more-->
Akan tetapi, Tri menekankan bahwa suhu udara yang lebih tinggi hanya satu dari ratusan faktor yang berpengaruh terhadap transmisi virus. Cuaca hanyalah faktor yang bisa menguntungkan, setelah mobilitas dan pergerakan manusia dibatasi untuk meredam penyebaran virus.
Sehingga, tidak bisa langsung disimpulkan bila masyarakat di daerah suhu yang panas lebih tanah terhadap virus. Intervensi sosial seperti social distancing pun tetap sangat diperlukan. “Jangan sampai ada kesan kita ga perlu social distancing, karantina, karena kita aman, itu yang ditakuti,” kata dia.
Sehingga, Tri pun mengatakan tidak ada yang salah dengan pernyataan IDI. Sebab, sampai saat ini memang belum ada riset khusus tentang pengaruh cuaca terhadap Covid-19. Meski begitu, penelitian khusus Covid-19 kini telah berjalan di kampus-kampus. Kalaupun ada perbedaan pendapatan, Tri menyebutnya sebagai hal yang lumrah dalam dunia akademis.
26 Maret 2020, kajian BMKG rampung, diserahkan ke presiden, dan didiskusikan dengan menteri koordinator terkait, termasuk Luhut. Awalnya, kata Dwikorita, kajian ini memang tidak akan dipublikasikan luas. Sebab, kajian ini bersifat dukungan bagi kebijakan social distancing.
Dalam kajiannya, BMKG tetap merekomendasikan pembatasan sosial untuk meredam penyebaran virus. Sebab, gelombang kedua Covid-19 yang telah menyebar di Indonesia diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca.
Sebelum hasil isu cuaca dan Covid-19 ini muncul ke publik, Dwikorita pun menyebut BMKG sudah rapat hingga 10 kali dengan Luhut. Pakar dari ITB, UI, hingga UGM pun hadir. Barulah kemudian, pernyataan disampaikan Luhut. “Setelah ada keributan itu, kami pikir apa enggak lebih baik kami edukasi masyarakat,” kata dia.
Sehingga, terbitlah siaran pers berisi penjelasan atas kajian BMKG tentang virus corona tersebut pada 3 April 2020. Dwikorita menyebut siaran pers itu murni atas inisiatif BMKG, bukan perintah dari Kemenko Maritim dan Investasi. “Tapi bagi kami perbedaan pendapat itu hal yang biasa, bukan sesuatu yang dihindari,” kata dia.