Dibayangi Virus Corona, IHSG Diprediksi Menguat Pekan Depan
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Minggu, 1 Maret 2020 13:18 WIB
Tempo.Co, Jakarta - Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG berpotensi menguat pada pekan depan. Pada pekan ini, indeks terpantau loyo dan tidak beranjak dari zona merah.
"Kami melihat ada potensi IHSG mengalami penguatan di perdagangan Senin ini dengan perkiraan Support di level 5400 sampai 5288 dan resistance di level 5500 sampai 5600," ujar Hans dalam keterangan tertulis, Minggu, 1 Maret 2020.
Pada pekan ini, IHSG terpukul parah ke level yang cukup rendah. Pada perdagangan kemarin Jumat, 28 Februari 2020, IHSG ditutup melemah 1,50 persen atau 82,99 poin ke level 5.452,70. Angka itu merupakan level terendah sejak Mei 2017. Sebelumnya pada perdagangan Kamis, 27 Februari 2020, IHSG mengakhiri pergerakannya di level 5.535,69 dengan penurunan 2,69 persen.
Hans mengatakan pelemahan pada Jumat lalu sempat tertahan dengan adanya lampu hijau dari Otoritas Jasa Keuangan yang memperbolehkan emiten melakukan buyback saham. Kebijakan tersebut, menurut dia, berhasil mendorong aksi pembelian di ujung sesi kedua pada hari itu. kebijakan tersebut membuat emiten yang merasa harga sahamnya sudah murah untuk bisa membeli sahamnya di pasar.
Hal tersebut, tutur Hans, memberikan sinyal positif ketika sebuah emiten mengumumkan rencana buyback karena mengindikasikan saham mereka sudah murah. "IHSG membentuk candle hammer dengan body kosong yang memberikan indikasi terjadi perlawanan atas tekanan turun. Biarpun ini Hammer yang tidak sempurna, tetapi memberikan indikasi kuat pada perdagangan jumat telah terjadi pembalikan arah dari tekanan turun."
Tak hanya di Indonesia, bursa di global dan regional juga mengalami tekanan turun sepanjang pekan ini. Indeks utama Wall Street semua turun sepekan dimana dalam semingguan Dow Jones turun 12 persen, Indeks S&P 500 turun 11,5 persen dan Nasdaq terkoreksi 10,5 persen. Secara pekanan, kata Hans, ini merupakan kinerja terburuk sejak 2008.
"Kecemasan pelaku pasar terjadi karena penyebaran virus korona saat ini tumbuh lebih cepat di luar China dimana hal ini menimbulkan kekhawatiran pada pasokan barang dan permintaan konsumen turun lebih besar dari estimasi sebelumnya," kata dia.
Pelaku pasar saat ini berspekulasi Federal Reserve akan menurunkan suku bunga pada pertemuan Maret 2020 untuk memberikan stimulus menghadapi dampak penyebaran virus korona di dunia. Pelaku pasar menilai suku bunga AS saat ini jauh lebih tinggi dibanding anggota lainnya di G10, sehingga mempunyai ruang lebih luas untuk menurunkan suku bunga.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa virus Korona memiliki potensi menjadi pandemi. WHO berpendapat epidemi virus corona telah mencapai titik puncak di Cina, tetapi kekhawatiran perluasannya penyebaran virus di Negara-negara lain. Kondisi ini lah yang menurut Hans menimbulkan kecemasan para pelaku pasar.
Lembaga pemeringkat Moody's berpendapat dampak virus korona akan memicu resesi global pada paruh pertama tahun ini. "Kami perkirakan wabah virus corona berhasil ditanggulangi tetapi pertumbuhan global pada Kuartal pertama tahun 2020 pasti akan terpukul turun," tutur Hans. Kondisi serupa juga tercitra pada bursa kawasan Eropa yang juga mengalami tekanan, seiring negara-negara kawasan tersebut juga mengalami penyebaran virus Corona.