Indonesia Jadi Negara Maju Versi AS, Kadin Cemaskan Ini
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 25 Februari 2020 16:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Status Indonesia berubah dari negara berkembang menjadi negara maju oleh Perwakilan Dagang Amerika Serikat (AS) atau United States Trade Representative (USTR) dalam kebijakan anti-subsidi atau countervailing duty (CVD). Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengatakan dengan adanya status baru tersebut, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dari AS.
Pasalnya, Indonesia hanya akan diberikan toleransi subsidi sebesar 1 persen dari harga pasar yang berlaku ketika diselidiki oleh investigator. Adapun batas toleransi negara berkembang sebesar 2 persen.
"Toleransi yang lebih rendah membuat Indonesia akan semakin sulit untuk membela diri dan membuktikan bahwa Indonesia tidak mengsubsidi produk tersebut," tutur Shinta kepada Tempo, Senin 24 Februari 2020.
Shinta menjelaskan kebijakan anti-subsidi ini merupakan adopsi Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kebijakan tersebut investigasi atau penyelidikan ada tidaknya subsidi perdagangan, batas toleransi, subsidi yang diperbolehkan, hingga pelarangan. AS memberikan tindakan berbeda atau de minimis threshold terhadap negara negara berkembang.
"AS dan negara maju lain, Uni Eropa khusunya, sangat sering melakukan klaim “particular market situation” kepada negara berkembang dalam kasus CVD. Klaim itu berarti menolak suatu negara (yang dituduh) melakukan praktik perdagangan yang baik dan sehat sesuai dengan konsep “market economy”," ujar Shinta.
Dengan begitu, ketika produk Indonesia memperoleh pangsa pasar yang lebih besar, mendominasi pasar, atau menerima keluhan pelaku usaha lokal, maka AS akan langsung berasumsi bahwa perlu ada penyelidikan CVD terhadap impor tersebut. "Hal ini bisa dilakukam karena ada jurisprudence bahwa Indonesia bukan 'market economy'," ujar Shinta.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Perekonomia Rizal Affandi Lukman mengatakan kebijakan CVD tersebut tidak tidak mengganggu fasilitas Generalized System of Preference (GSP) yang diterima Indonesia selama ini. GSP merupakan kebijakan yang meringankan bea masuk impor barang-barang tertentu dari negara berkembang ke AS.
"Tidak ada hubungan langsung dengan GSP. Artinya itu kebijakan Amerika apakah akan berikan CVD ke beberapa negara. Itu dua hal terpisah (dengan GSP)," ujar Rizal.
<!--more-->
Seperti dikutip dari dokumen resmi USTR, pemerintah AS mempertimbangkan Indonesia sebagai negara maju karena porsinya terhadap perdagangan dunia yang sebesar 0,5 persen dan/atau lebih. Brazil, India, Malaysia dan Thailand ikut dikeluarkan dari daftar negara berkembang dengan alasan serupa. Kebijakan ini disampaikan USTR melalui pernyataannya pada 10 Februari lalu.
"Tidak ada hubungan langsung dengan GSP. Artinya itu kebijakan Amerika apakah akan berikan CVD ke beberapa negara. Itu dua hal terpisah (dengan GSP)," ujar Rizal.
Rizal tak menampik bahwa status baru tersebut membuat Indonesia rentan tuduhan oleh AS. Hal tersebut, kata Rizal, akan membuat pemerintah harus lebih hati-hati setiap kali memberikan subsidi. "Jadi setiap pemberian subsidi akan dikenakan kemungkinan untuk di-challenge (diuji). Memang harus hati-hati dengan status baru kita di WTO," ujar Rizal.
Rizal mengatakan keberlanjutan pemberian fasilitas GSP terhadap Indonesia tak perlu dicemaskan. Pasalnya, kata Rizal, pembahasan keberlanjutan GSP masih berjalan dan sudah masuk dalam tahap finalisasi. "Sejauh ini, GSP masih positif. Pekan depan, mereka (USTR) akan datang. Mudah-mudahan segera diumumkan," tutur Rizal.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menilai peninjauan status beberapa negara berkembang oleh AS sebetulnya tidak secara khusus menargetkan Indonesia. Adapun pencabutan preferensi subsidi dikenakan untuk negara-negara berkembang termasuk Cina, India, Indonesia, Singapura, dan Vietnam.
"Kebijakan itu akan membuat AS lebih mudah untuk menerapkan tugas anti-dumping atau CVD dan mengenakan tarif lebih banyak pada produk Cina" ujar Satria.
Meski begitu, Satria mengatakan beberapa produk Indonesia pernah terdampak oleh CVD, di antaranya biodiesel, karbon, baja, kertas, udang, hingga berbagai plastik polyethlene. Apabila tidak masuk kategori negara berkembang lagi, Satria mengatakan bukan tidak mungkin daftar produk yang terkena CV akan bertambah karena dinilai tingkat kompetitifnya tinggi di AS.
"Kerentanan di neraca perdagangan akan terasa kalau nanti review CVD ini berlanjut ke GSP. Apalagi, ada lebih dari 3 ribu produk yang masuk kategori GSP dengan nilai lebih dari US$ 2 miliar," ujar Satria.
Menurut dia, hal penting yang perlu ditempuh oleh pemerintah adalah upaya diplomatis untuk meyakinkan Pemerintah AS bahwa GSP yang diterima Indonesia cukup menguntungkan bagi perekonomian AS, khususnya produk konsumsi. Satria mengatakan 70 persen perekonomian AS merupakan konsumsi. "Perlu ada diplomasi bahwa produk Indonesia itu penting, apalagi menekan inflasi AS," ujar Satria.
LARISSA HUDA