Gagal Bayar Membengkak, OJK Disebut Kecolongan Awasi Jiwasraya
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 20 Desember 2019 10:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai Otoritas Jasa Keuangan kecolongan dalam mengawasi PT Asuransi Jiwasraya. Dua hal yang luput dalam pengawasan otoritas itu adalah terkait produk JS Plan dan pendalaman pasar.
OJK diduga lalai karena memperbolehkan penjualan produk saving plan dengan fixed return. Hal tersebut sebetulnya tak hanya terjadi dalam kasus Jiwasraya, tetapi terhadap hampir seluruh pelaku asuransi.
"Produk saving plan berbunga tetap dan di atas rata-rata seharusnya sudah menjadi indikasi kebijakan produk yang tidak prudent," ujar Irvan, Kamis, 19 Desember 2019.
Selain itu, otoritas pun dinilai gagal dalam melakukan pendalaman pasar sehingga instrumen pasar yang ada menimbulkan crowding out. Walhasil, dalam situasi tersebut para emiten, bond issuer, perbankan, dan asuransi berebut likuiditas dengan tingkat persaingan tidak sehat.
Irvan pun menilai bahwa Kementerian Keuangan lalai karena turut menjadi pemburu likuiditas di pasar melalui Surat Berharga Negara (SBN), sukuk, dan Surat Utang Negara (SUN). Mudah diduga bahwa SBN akan menjadi pemenang dari instrumen-instrumen lain karena tingginya return.
Hal-hal tersebut, yang menurut Irvan, menyebabkan industri perbankan, asuransi, dan pasar modal, baik secara masing-masing maupun berkoalisi, menciptakan produk dengan janji imbal hasil tinggi. Bahkan hingga mencapai tingkat tidak masuk akal.
"Boleh jadi JS Plan adalah korban dari efek crowding out, sehingga menjanjikan produk dengan return tinggi. Pada akhirnya berujung default," ujar Irvan.
Seperti diketahui, masalah gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang terus membengkak, dari Rp 802 miliar pada Oktober 2018 menjadi Rp 12,4 triliun pada akhir 2019.
Soal tudingan lalai itu, Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan pengawasan terhadap Jiwasraya sejak Januari 2013. Hal itu dilakukan mulai saat peralihan fungsi pengawasan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
<!--more-->
Kala itu, Jiwasraya mencatatkan surplus Rp 1,6 triliun karena adanya upaya penyehatan keuangan melalui mekanisme financial reinsurance (FinRe). Jika upaya yang bersifat sementara itu tidak dilakukan, perseroan akan mencatatkan defisit Rp 5,2 triliun.
Setahun sebelum OJK melakukan pengawasan, Jiwasraya telah menawarkan produk saving plan atau JS Plan yang menjanjikan return 9–13 persen selama kurun 2013–2018. Selama masa pengawasan OJK, perolehan premi produk tersebut terus meningkat.
Pada 2012, saat pertama kali dipasarkan, Jiwasraya meraup premi JS Plan hingga Rp 820 miliar. Jumlahnya terus meningkat, hingga puncaknya pada 2017 mencapai Rp 16,54 triliun atau 75,3 persen dari total premi senilai Rp 21,91 triliun.
Di titik puncak tersebut mulai ditemukan kejanggalan saat nilai cadangan Jiwasraya lebih rendah dari seharusnya (understated) setelah auditor independen melakukan audit terhadap Jiwasraya. Alhasil, laba perseroan per 31 Desember 2017 dikoreksi dari mulanya Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.
Menurut Sekar, kala itu OJK telah mengingatkan Jiwasraya untuk mengevaluasi produk saving plan dan menyesuaikan guaranteed return sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasi perusahaan. OJK telah mengendus adanya potensi masalah dari produk tersebut. "Dalam hal Jiwasraya akan menghentikan seluruh produk saving plan, maka perlu memperhatikan kondisi likuiditas perusahaan," ujarnya.
Sejak awal 2018, OJK meminta Jiwasraya untuk menyampaikan Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) yang memuat langkah-langkah penanganan masalah. RPK itu ditandatangani direksi dan komisaris perseroan, memperoleh persetujuan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kemudian disampaikan kepada OJK.
Namun, upaya tersebut belum berbuah hasil, hingga puncaknya pada Oktober 2018 Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar klaim jatuh tempo senilai Rp 802 miliar. Sejak itu, tata kelola perusahaan, pengelolaan manajemen risiko, dan koordinasi Jiwasraya menjadi poin pengawasan utama otoritas.
"Terhadap RPK yang telah disampaikan pada OJK, saat ini OJK melakukan pemantauan secara intensif melalui laporan realisasi RPK yang disampaikan Jiwasraya secara bulanan dan pertemuan rutin dengan manajemen Jiwasraya," ujar Sekar.
Kini masalah di tubuh Jiwasraya tersebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp 13,7 triliun per Agustus 2019. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menilai bahwa hal tersebut terjadi karena adanya pengelolaan dana yang melanggar prinsip tata kelola. "Ini baru perkiraan awal. Diduga (nilai aslinya) akan lebih dari itu," ujar Burhanuddin, Rabu lalu, 18 Desember 2019 di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.
BISNIS