BEI: 17 Perusahaan Akan IPO di Sisa Tahun Ini
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 5 Desember 2019 06:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) berupaya mengejar target realisasi penawaran saham perdana (IPO) calon emiten hingga akhir tahun ini. Berdasarkan pipeline otoritas bursa hingga 4 Desember 2019, total terdapat 33 perusahaan yang berencana mencatatkan diri sebagai emiten pasar modal dalam waktu dekat.
“Rinciannya sebanyak 17 perusahaan akan masuk di sisa tahun ini, sedangkan 16 perusahaan sisanya akan masuk di 2020,” ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna Setia di Jakarta, kemarin.
Adapun hingga kemarin, total perusahaan yang listing sepanjang tahun ini telah mencapai 49 perusahaan. Nyoman berharap capaian realisasi IPO 2019 dapat lebih baik dari tahun lalu yang berhasil membukukan 57 perusahaan. “Mudah-mudahan bisa lebih dari itu,” ucapnya. Dari 17 perusahaan yang berencana listing di sisa waktu tahun ini, sebanyak 13 perusahaan menggunakan laporan keuangan per Mei dan Juni 2019, sehingga tenggat waktu pencatatan sahamnya akan berakhir di penghujung tahun ini.
Calon emiten yang akan segera melantai itu pun berasal dari berbagai sektor, yaitu properti, real estat, konstruksi bangunan, perdagangan, jasa, investasi, hingga konsumer. Beberapa di antaranya adalah PT Repower Asia Indonesia, PT Diamond Food Indonesia, PT Agro Yasa Lestari, PT Putra Rajawali, dan PT Bank Amar Indonesia, dan PT Perintis Triniti Properti.
Sedangkan, untuk 16 perusahaan yang dijadwalkan tercatat tahun depan itu, kini hanya tinggal menunggu pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BEI pun terus berkoordinasi dengan OJK terkait dengan realisasi IPO tersebut.
Tak hanya itu, BEI juga telah melakukan pendekatan dengan perusahaan-perusahaan rintisan (startup) berstatus unicorn, atau valuasi di atas US$ 1 miliar untuk turut berpartisipasi melantai di bursa. “Kami sudah beberapa kali bertemu, sekarang kami tinggal menunggu bagaimana dari mereka,” kata Nyoman. Dia menuturkan otoritas bursa akan terus mengawal dan berkomunikasi dengan mereka, untuk memastikan tak ada lagi tantangan dan kendala yang mengganjal rencana untuk melakukan IPO.
Terlebih, BEI bersama pemerintah juga telah berkomitmen untuk memberikan insentif bagi perusahaan yang melakukan IPO di dalam negeri. Insentif ini diharapkan dapat semakin menggugah minat perusahaan untuk mencatatkan sahamnya di pasar modal domestik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyampaikan, insentif tersebut akan berupa pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh) perusahaan. Hal itu tercantum dalam Rancangan Undang – Undang mengenai omnibus law perihal perpajakan, di mana pemerintah akan menurunkan tarif PPh dari saat ini 25 persen menjadi 22 persen pada periode 2021-2022, dan 20 persen untuk periode 2023.
<!--more-->
“Kami juga akan menurunkan untuk pajak badan yang melakukan go public dengan menambah pengurangan tarif 3 persen lagi dalam lima tahun setelah perusahaan itu IPO,” ujar Sri Mulyani. Insentif lainnya juga diberikan untuk investor pasar modal, khususnya yang berkaitan dengan dividen yang diperoleh investor, baik bagi wajib pajak pribadi maupun badan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Samsul Hidayat meyakini iming-iming insentif tersebut bakal efektif untuk menarik minat calon emiten agar segera merealisasikan diri sebagai perusahaan publik. “Ini cukup menarik, tambahan 3 persen itu signifikan, apalagi bagi perusahaan yang punya EBITDA cukup besar, ini akan signifikan,” kata dia kepada Tempo.
Samsul menambahkan untuk semakin menggugah, dibutuhkan juga insentif yang bersifat spesifik. “Jadi nanti diberikan insentif atau kemudahan untuk masing-masing sektor, karena kan persoalan atau kebutuhannya bisa jadi berbeda-beda,” ucapnya.
Sementara itu, pengamat pasar modal, Irwan Ariston Napitupulu mengatakan ihwal pemberian insentif, terdapat sejumlah hal yang akan menjadi pertimbangan perusahaan. “Bagi yang belum go public, insentif seperti itu masih harus memperhitungkan benefit yang hilang ketika mereka go public,” ujar dia,
Pasalnya, terdapat plus minus yang menyertai ketika perusahaan yang tadinya berstatus private memutuskan menjadi perusahaan publik. “Saat masih private misalnya owner masih memiliki penuh perusahaan itu, profit sepenuhnya untuk pemilik, dan mereka bebas mengambil keputusan, tapi kalau sudah public benefit seperti itu tidak dimiliki lagi,” kata Irwan.
DIAS PRASONGKO | GHOIDA RAHMA