Ingin Izin Impor Bawang Putih Disederhanakan, Ini Saran KPPU
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rahma Tri
Selasa, 22 Oktober 2019 14:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU telah mengirimkan rekomendasi penyederhanaan prosedur impor bawang putih kepada pemerintah. Penyampaian rekomendasi tersebut merupakan salah satu tugas KPPU sesuai Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Kami sudah mengirimkan rekomendasi ke pemerintah pada Agustus,” ujar Deputi Bidang Pengkajian Ekonomi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Taufik Ariyanto seperti dikutip Bisnis, Selasa 22 Oktober 2019.
Ada beberapa saran yang disampaikan oleh KPPU kepada pemerintah untuk menyederhanakan prosedur impor bawang putih. Pertama, penerbitan izin impor seyogyanya didasarkan pada permintaan yang telah memenuhi prasyarat dan dilakukan sesuai dengan waktu realisasi impor yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
“Jadi penerbitan izin itu dilakukan secara random sepanjang tahun. Tidak harus menunggu di awal menjelang pertengahan tahun,” kata Taufik.
Selain itu, KPPU juga mengusulkan agar pungutan tarif yang dikenakan terhadap impor bawang putih dapat digunakan untuk mendukung program swasembada bawang putih yang ditargetkan terjadi pada 2021. “Perlu juga melakukan pengawasan dan pencatatan realisasi impor sampai ke distribusi di tingkat pengecer menjadi tugas dan tanggung jawab instansi terkait,” kata dia.
Sebelumnya, lantaran terjadi gonjang-ganjing fluktuasi harga bawang putih, KPPU merangkai runtutan penyebab terjadinya lonjakan harga yang tinggi dikarenakan terlambatnya rencana impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian serta surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Pertanian. Pantauan KPPU, keterlambatan penerbitan ini kerap terjadi setiap pergantian tahun sehingga pada awal tahun harga bawang putih selalu melonjak tinggi.
<!--more-->
“Pada Desember 2018, tercatat 24 importir yang sudah memperoleh SPI dan merealisasikan volume impor mendekati kuota yang diprediksi bisa memenuhi pasokan Januari-April 2019. Pada Januari-Maret 2019, tidak ada penerbitan RIPH dan SPI walah terdapat pengajuan dari importer selama periode tersebut. Pada bulan-bulan itu terjadi peningkatan harga padahal di negara asalnya, justru terjadi penurunan harga,” Taufik memaparkan.
Adapun margin bruto, belum termasuk biaya penyusutan, distribusi dan tenaga kerja dari perdagangan bawang putih di Indonesia dalam periode Januari 2018 hingga Mei 2019 berkisar antara Rp352,21 juta hingga Rp2,4 triliun dengan rerata margin sebesar Rp 672,5 juta.
Secara akumulatif, margin bruto Januari-Desember 2018 sebesar Rp8,6 triliun dengan total realisasi sebesar 577.501 ton. Sementara itu, margin pada April-Mei 2019 sebesar Rp2,2 miliar dengan volume impor 56,2 juta.
KPPU, lanjutnya, juga menemukan fakta bahwa selama tiga tahun sejak 2015-2018, terjadi penurunan impor pada periode Januari-Maret. Hal ini dapat diperinci pada 2015, jumlah impor mencapai 77,6 juta ton. Setahun berikutnya turun menjadi 77,2 juta, lalu pada 2017 jumlah impor sebesar 60,9 juta dan pada 2018 anjlok menjadi 3,9 juta ton.
Dari berbagai fakta tersebut, KPPU kata Taufik, menganalisis bahwa tingginya harga bawang putih pada Maret-Mei 2019 disebabkan oleh minimnya pasokan di pasar. Salah satu alasannya, adanya kewajiban tanam sebesar 5 persen dari jumlah kuota impor yang dibebankan kepada importir yang menyebabkan terhambatnya penerbitan RIPH. Pasalnya, proses klarifikasi terjadi sepanjang awal tahun (Januari-Maret).
Keterlambatan, juga terjadi di Kementerian Perdagangan lantaran SPI baru terbit pada April 2019. Kondisi ini menyebabkan importir yang sudah memiliki SPI per Oktober 2018 dan sudah merealisasikan impor bawang putih berdasarkan kuota yang dimiliki, dapat menguasai pasokan pasar domestik.
BISNIS