Pemerintahan Jokowi Jilid II, YLBHI: Konflik Agraria Masih Banyak
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 22 Oktober 2019 09:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI memprediksi tak ada angin segar untuk konflik agraria di pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi jilid kedua. Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan masyarakat masih akan dibayang-bayangi oleh konflik struktural pertanahan yang berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia atau HAM.
"Upaya pembungkaman gerakan petani atau masyarakat adat melalui kriminalisasi, intimidasi, dan penyiksaan telah terjadi 5 tahun terakhir dan diprediksi akan terus terjadi di 5 tahun pemerintahan ke depan,” ujar Rakhma kepada Tempo, Senin, 21 Oktober 2019.
Rakhma memperkirakan, dalam 5 tahun ke depan, pemerintah masih akan terus melindungi investasi, khususnya di bidang ekstraksi seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan tanpa komitmen melakukan review terhadap izin-izin lama. Selain itu, pemerintah diramalkan bakal menolak membuka data hak guna usaha perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.
Menurut Rakhma, legitimasi pemerintah makin kuat dengan dibuatnya Rencana Undang-undang Pertanahan yang poin-poin di dalamnya disinyalir akan memangkas hak-hak masyarakat atas tanah. Beleid itu pun diduga menutup penyelesaian konflik dan mengancam pidana masyarakat yang memperjuangkan haknya. "Sebaliknya, RUU ini memberikan peluang sangat besar kepada para pemilik modal untuk mendapatkan tanah sebesar-besarnya secara leluasa,” ujarnya.
Rencana pembangunan infrastruktur jumbo pada 5 tahun mendatang diduga juga akan mengakibatkan konversi lahan besar-besaran. Sebelum meneruskan proyek-proyek agraria, menurut Rakhma, pemerintah semestinya mencermati kasus-kasus pertanahan yang 5 tahun belakangan masih bergejolak.
Data YLBHI menunjukkan, selama 2018, 300 kasus konflik struktural agraria di 16 provinsi yang ditangani kantor Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dengan luasan lahan 488.404,77 hektare telah mengakibatkan 367 pelanggaran HAM di berbagai sektor. Konflik agraria struktural diakibatkan oleh penerbitan izin, keputusan, konsesi, di atas tanah masyarakat oleh pemerintah kepada para pengusaha.
Sampai Oktober 2019, konflik struktural agraria itu menurut Rakhma tak satu pun yang terselesaikan. Justru, pada 2019, kasus konflik agraria semakin bertambah. Perkara itu ditandai dengan masuknya kasus ribuan petani Jambi yang digusur lahan garapannya karena konflik agraria dengan anak perusahaan swasta.
<!--more-->
"Selain itu, kasus-kasus yang meletus pada 2018 kecenderungannya semakin buruk karena selain tidak diselesaikan, juga digunakannya kekerasan berupa penghancuran tanaman masyarakat, perobohan rumah, intimidasi secara psikis dan fisik, dan kriminalisasi,” tuturnya.
Dalam 5 tahun terakhir, Rakhma menilai pemerintah khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM tidak kunjung menemukan solusi atas persoalan yang dihadapi. Bahkan, Rakhma memandang pemerintah enggan mengakui kesalahan memberikan izin-izin bermasalah. Kementerian juga mengabaikan protes masyarakat sehingga masalah agraria langgeng dan mangkrak.
Rakhma mengatakan saat ini pemerintah pun belum memiliki mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan konflik agraria berdasarkan hak-hak masyarakat yang menjadi korban. Pemerintah juga mau mencabut atau membatalkan izin-izin konsesi bermasalah yang sudah diberikan kepada pengusaha.
Karena itu, pada masa pemerintahan ke depan, YLBHI memberikan lima rekomendasi untuk Jokowi. Pertama, membatalkan RUU Pertanahan dan membuat rencana penyusunan kembali aturan dengan melibatkan masyarakat sipil, petani, masyarakat adat, perempuan, dan akademikus. Kedua, membatalkan RUU Sistem Budidaya Lahan Pertanian Berkelanjutan yang diduga merampas hak-hak petani untuk berinovasi.
Ketiga, YLBHI meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi para petani, masyarakat adat, dan para aktivis agraria. “Kami juga meminta pemerintah mengeluarkan mereka yang saat ini sedang dipenjara karena memperjuangkan hak-haknya atas tanah,” tuturnya.
Keempat, YLBHI meminta pemerintah meninjau ulang pelibatan militer dan kepolisian dalam konflik agraria serta segera mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikannya. Kelima, Rakhma mengatakan pemerintah mesti segera memikirkan cara mengembalikan lahan-lahan masyarakat adat yang diambil oleh perusahaan swasta maupun pemerintah.