Cegah Capital Outflow, Jokowi Diminta Beri Sinyal Basmi Korupsi
Reporter
Eko Wahyudi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 1 Oktober 2019 18:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta memberi sinyal yang kuat ke pasar khususnya dalam komitmennya menegakkan hukum dan menghapus segala bentuk korupsi. Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menyebutkan, salah satu caranya adalah dengan memperkuat lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
"Cara untuk mengobati ketidakpercayaan investor dengan menciptakan regulasi yang memberikan kepastian," kata Prastowo, Selasa, 1 Oktober 2019.
Pasalnya, dalam beberapa hari terakhir gejolak di pasar saham dan uang berasal dari ketidakpercayaan pasar terhadap pemerintah. Modal investor asing yang keluar dari Indonesia (capital outflow) menggambarkan kekhawatiran pemodal akan ketidakpastian hukum dan politik.
Sebelumnya, dilaporkan investor asing beramai-ramai hengkang dari pasar modal Indonesia dalam dua hari terakhir. Mereka membukukan aksi jual bersih (net sell) di pasar regular sebesar Rp 565,19 miliar dan Rp 993,94 miliar pada Selasa dan Rabu pekan lalu, atau total mencapai Rp 1,5 triliun. Situasi politik dalam negeri yang bergejolak dan aksi demonstrasi besar yang terjadi sejak awal pekan ini disebut sebagai pemicu asing melepas saham-saham miliknya.
“Kondisi politik yang ramai diberitakan tentu cukup membawa pengaruh ke pasar, mungkin bisa disebut sebagai penyebab utama penurunan kinerja perdagangan beberapa hari ini,” ujar Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Laksono Widodo, di Jakarta, Rabu, 25 September 2019.
Oleh karena itu, menurut Prastowo, pemerintah harus dengan cepat memberikan penyelesaian terkait masalah tersebut dengan menciptakan regulasi yang pasti dan cepat. Banyaknya demonstrasi dan penolakan RUU KPK seharusnya segera ditanggapi dengan sikap tegas pemerintah.
<!--more-->
Prastowo menyatakan, Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera menyelesaikan permasalahan ini dengan baik. "Apa yang dianggap tidak kredibel diperbaiki, lantas diselesaikan dengan cara kerja yang baik," ucapnya.
Setidaknya ada dua langkah yang diusulkan Prastowo agar segera dilakukan pemerintah. Pertama, untuk menghentikan polemik politik, sebelum pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, harus ada sinyal kepada publik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.
Kedua, Pemerintah bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksana Undang-Undang KPK supaya pemerintah nampak lebih baik di mata masyarakat dan investor. "Agar pelemahan KPK itu tidak terjadi, maka bikin PP yang lebih bagus, bagaimana KPK menjadi ASN yang menjamin tidak akan ada intervensi maka dibuat PP yang lebih bagus," ucapnya.
Kemudian, kata Prastowo, jika Undang-Undang KPK hasil revisi DPR sudah disahkan, Pemerintahan Jokowi bisa mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu bisa dilakukan agar eksekutif bisa beradu argumen di lembaga tersebut tentang pelemahan KPK itu tidak terjadi. "Supaya publik percaya bahwa Presiden dan pemerintah ingin memperkuat KPK."
Jika pemerintah tidak segara mengambil keputusan, ia khawatir saat global mengalami resesi, dan stagnasi, perekonomian Indonesia akan semakin parah yang ditunjukkan dengan kekeringan likuiditas dan di saat bersamaan mengalami current account defisit. "Jika tidak mengambil keputusan maka dampak ekonomi semakin parah. Yang harus disadari, damage control penting," kata Prastowo.