Susun Rekomendasi Impor Garam, KPPU: Persaingan Lebih Dibuka
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 19 September 2019 15:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU Guntur Saragih sedang menyelesaikan penyusunan rekomendasi kepada pemerintah terkait dengan impor garam. Pihaknya masih merumuskan bentuk rekomendasi terkait importasi garam.
Guntur menyebutkan penyusunan rekomendasi tersebut akan rampung agar diberikan dalam waktu dekat. “Dalam rekomendasi ada beberapa hal yang kami sarankan kepada Pemerintah, seperti persaingan harus lebih dibuka di bidang importasi garam,” ujarnya, Rabu, 18 September 2019.
Adapun rekomendasi itu meliputi terkait persoalan garam impor seperti penetapan volume dan harga patokan garam impor. Selain itu, komisi juga meminta pengawasan pemerintah terhadap impor garam harus diperbaiki sehingga tidak terdapat rembesan garam impor ke pasar yang dapat menekan harga produksi lokal.
KPPU sebelumnya sudah memutuskan bahwa para terlapor dalam perkara importasi garam tidak bersalah. Namun begitu, masih ada persoalan lain pada industri garam sehingga praktik bisnis saat ini mengakibatkan petani lokal kalah bersaing.
Salah satu persoalan tersebut yakni lemahnya pengawasan terhadap impor garam dari pemerintah terhadap para importir. Hal ini yang menyebabkan terjadinya kebocoran garam impor yang seharusnya khusus diperuntukkan bagi industri ternyata beredar pula ke pasar ritel.
Guntur menyatakan ada beberapa hal yang ditemukan pascapersidangan. Meski diputuskan Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 tidak dilanggar, fakta persidangan menemukan problematika terkait industri garam dan kebijakan pemerintah.
"Kami temukan ada mekanisme pengawasan yang kurang berfungsi di Kementerian Perindustrian sehingga importir ini menjual garam kepada nama-nama pembeli yang tidak terdaftar,” kata Gungur.
Padahal, menurut regulasi, importir mesti menyertakan nama perusahaan pembeli sebagai syarat impor kepada pemerintah. “Mayoritas penjualan garam impor kepada pembeli yang bukan didaftarkan."
<!--more-->
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menyatakan minimnya pasokan garam industri membuat industri harus meminta garam ke sektor industri lain, salah satunya dari industri kertas. Ia mengaku telah mengajukan kuota garam impor sejumlah 550 ribu ton pada tahun ini. Akan tetapi, kuota garam impor yang disetujui untuk tahun ini adalah 300 ribu ton.
Industri makanan minuman meminta tambahan garam impor sejumlah 300 ribu ton pada awal semester II/2019. Sebelumnya, Adhi mengatakan pasokan garam industri di gudang industri makanan dan minuman sekitar 30 ribu pada awal Juli 2019.
Menurut Adhi, industri tersebut kini menggunakan garam dari industri kertas yang belum digunakan. “Garam industri makanan dan minuman. Saya belum cek di lapangan, tapi hari ini lagi dibahas mengenai kuota garam impor industri mamin,” katanya.
Adhi mengatakan permintaan kuota garam impor pada tahun depan akan tumbuh 5 persen menjadi 577.500 ton dari pengajuan tahun ini 550 ribu ton.
Menurutnya, sebagian pabrikan pengolah garam telah menghentikan produksi lantaran pasokan garam impor ke industri pengolah garam habis. Garam impor berfungsi untuk menaikkan kualitas garam lokal yang diserap oleh pabrikan dengan cara dicampurkan.
Pada awal Agustus 2019, Kemenperin telah memfasilitasi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Penyerapan Garam Lokal tahun 2019-2020. Dari MoU ini, garam lokal akan diserap oleh industri sebanyak 1,1 juta ton. Target tersebut meningkat dari capaian serapan tahun lalu sebesar 1.053.000 ton.
Kesepakatan tersebut sebagai wujud nyata dari kerja sama antara 11 industri pengolah garam dengan 164 petani garam di dalam negeri. Para petani garam itu berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Berdasarkan neraca garam nasional, kebutuhan garam nasional tahun 2019 diperkirakan sekitar 4,2 juta ton. Jumlah tersebut terdiri dari kebutuhan industri sebesar 3,5 juta ton, konsumsi rumah tangga 320 ribu ton, komersial 350 ribu ton, serta peternakan dan perkebunan 30 ribu ton.
BISNIS