Ombudsman Evaluasi Kesiapaan Kebijakan Jaminan Produk Halal
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 18 September 2019 05:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman mengevaluasi kesiapan pemberlakuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) pada 17 Oktober mendatang. Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy menuturkan monitoring kesiapan UU JPH tersebut sudah dilakukan pada Agustus dan September lalu.
Undang-undang tersebut nantinya dinaungi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). “Kami melihat dengan pendekya waktu yang tersisa, ada beberapa hal yang harus disiapkan secara maraton. Kami melihat masih ada sejumlah kelemahan,” ujar Ahmad di kantornya, Selasa 17 September 2019.
Salah satu kesiapan yang disoroti Ombudsman adalah soal pelayanan masyarakat yang tidak dilakukan secara regional. Dalam ketentuan tersebut, BPJPH pelayanan secara regional lewat perwakilan di Kantor Wilayah Kemenag.
Namun, system tersebut hingga saat ini dinilai belum berjalan efektif. Selain itu, Ahmad menuturkan belum ada aturan yang rinci tentang proses dan kode etik serta audit masing-masing lembaga terkait.
Ahmad menuturkan belum ada sosialisasi kepada masyarakat luas. BPJPH juga dinilai belum memiliki skema yang jelas tentang pembiayaan, skema harga, hingga belum adanya struktur organisasi BPJPH yang jelas.
“Meski demikian kami akan pantau sepekan sebelum pemberlakuan. Kami akan sampaikan apa yang belum siap. Kami akan focus pada pelayanan publik dan keterjangkauan,” ujar Ahmad.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah menilai ketidaksiapan instrumen berpotensi memberikan dampak negatif berupa ketidakpastian dan akuntabilitas BPJPH. Ikhsan juga mencatat hingga saat ini masih banyak instrumen yang belum terpenuhi, seperti Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), auditor halal, laboratorium halal, tarif, sistem pendaftaran, jaminan kepastian waktu proses, dan lainnya.
Selain kelengkapan instrument, Ikhsan menilai BPJPH juga wajib menjalani Sertifikasi oleh Badan Sertifikasi Nasional yang berstandar Internasional seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN). “BPJPH juga wajib melakukan uji publik untuk semua sistem yang akan diterapkan kepada dunia usaha dan industri agar tidak terjadi trial and error,” ujar Ikhsan.
<!--more-->
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menuturkan saat ini tak lebih dari 2 persen pelaku UMKM yang sudah mendapatkan sertifikasi halal. Menurut dia, pelaku UMKM masih keberatan memenuhi syarat sertifikasi halal lantaran biaya yang dikenakan tidak murah.
"Kalau diwajibkan untuk sertifikasi halal, kami minta agar UMKM dibebaskan dari beban biaya. Kalau tidak, mereka ogah-ogahan. Mereka hanya akan pasang dan klaim sendiri logo halal atas produknya," ujar Ikhsan kepada Tempo.
Tak hanya itu, Ikhsan menuturkan masih panjangnya durasi pengajuan sertifikasi membuat pelaku UMKM juga enggan mendaftarkan produknya. Selain itu, menurut Ikhsan proses sertifikasi masih belum transparan. Menurut Ikhsan, jika kondisi masih seperti saat ini sebaiknya sertifikasi halal masih dijadikan opsi bagi pelaku UMKM sebagai bagian dari pemasaran, bukan kewajiban.
Staf Ahli Menteri Agama Janedjri M Gaffar menuturkan kementerian telah menyiapkan aspek hokum dengan merampungkan beberapa rancangan peraturan tentang penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH). Rancangan tersebut, kata dia, sudah dibicarakan dengan kementerian, institusi, dan lembaga terkait, khususnya Majelis Ulama Indonesia.
"Terkait dengan pelayanan jaminan produk halal ini, kami sudah bicarakan dengan MUI. Kami juga akan sinergikan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing,” tutur Janedjri.
<!--more-->
Janedjri menuturkan sementara akan melibatkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI sebagai lembaga yang menjalankan fungsi sebagai LPH. Permohonan sertifikasi halal nantinya akan masuk dari LPH. Kemudian, permohonan tersebut aan diverifikasi oleh BPJPH. Setelah itu, MUI akan menetapkan lewat siding fatwa halal. Terakhir, hasil siding kembali diserahkan kepada BPJPH untuk penerbitan sertifikat halal.
“Untuk tahap awal, produk yang diprioritaskan mulai dari produk makanan dan minuman dan produk yang sudah bersertifikat atau perpajangan, dan produk yang diwajibkan bersertifikat halaln oleh undang-undang lainnya. Selebihnya, akan diatur bertahap” tutur Janedjri.
Kepala BPJPH Sukoso menuturkan untuk LPH memang boleh didirikan oleh pemerintah dari berbagai instansi terutama dari perguruan tinggi, yayasan Islam, pemerintah daerah, dan pusat. Meski saat ini masih mengandalkan LPPOM MUI, Sukoso mengatakan kehadiran LPH yang terus bertambah nantinya akan membuat proses sertifikasi lebih efisien, baik dari segi biaya maupun waktu.
Sukoso menuturkan LPPOM MUI nanti akan bersama-sama dengan LPH lainnya diberikan hak untuk melakukan sertifikasi. Adapun kewajiban LPH harus memiliki tiga auditor terakreditasi. Sampai saat ini, BPJPH sudah menyiapkan 180-an calon auditor halal yang harus melalui uji kompetensi terlebih dahulu. "Kami berharap lima tahun ke depan minimal ada 5 ribuan auditor halal. itu kondisi ideal setiap kabupaten minimal ada LPH," ujar Sukoso.