Harga Minyak Naik Hampir 15 Persen Pasca Serangan ke Saudi Aramco
Reporter
Antara
Editor
Kodrat Setiawan
Selasa, 17 September 2019 07:44 WIB
TEMPO.CO, New York - Pasca serangan terhadap fasilitas minyak mentah Arab Saudi, Saudi Aramco, harga minyak melonjak hampir 15 persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB, 17 September 2019), dengan Brent mencatat lompatan terbesar dalam lebih dari 30 tahun di tengah rekor volume perdagangan. Serangan terhadap Saudi Aramco diperkirakan memotong separuh produksi kerajaan dan memicu kekhawatiran akan pembalasan di Timur Tengah.
Minyak mentah Brent, patokan internasional, ditutup pada US$ 69,02 per barel, melonjak US$ 8,80 atau 14,6 persen, kenaikan persentase satu hari terbesar sejak setidaknya 1988. Brent berjangka melihat lebih dari dua juta kontrak diperdagangkan, rekor volume harian sepanjang masa, kata juru bicara wanita Intercontinental Exchange, Rebecca Mitchell.
Sementara itu, patokan AS, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) berakhir pada US$ 62,90 per barel, melompat US$ 8,05 atau 14,7 persen -- kenaikan persentase satu hari terbesar sejak Desember 2008.
Serangan drone terhadap dua fasilitas kilang milik Saudi Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, terjadi pada Sabtu pekan lalu waktu setempat. Serangan itu meningkatkan ketidakpastian di pasar yang relatif tenang dalam beberapa bulan terakhir. Serangan tersebut memicu kekhawatiran berkurangnya pasokan minyak mentah dari Arab Saudi, yang secara tradisional menjadi pemasok terakhir di dunia.
Indeks volatilitas pasar minyak mencapai level tertinggi sejak Desember tahun lalu. Aktivitas perdagangan menunjukkan investor memperkirakan harga lebih tinggi dalam beberapa bulan mendatang.
"Serangan terhadap infrastruktur minyak Saudi datang sebagai sebuah guncangan dan kejutan," kata Tony Headrick, analis pasar energi di St. Paul, Minnesota, pialang komoditas CHS Hedging LLC.
Arab Saudi adalah eksportir minyak terbesar di dunia dan, dengan kapasitas cadangan yang relatif besar. Arab Saudi telah menjadi pemasok terakhir selama beberapa dekade.
<!--more-->
Serangan akhir pekan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah milik produsen Saudi Aramco di Abqaiq dan Khura memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari dan menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuannya untuk mempertahankan ekspor minyak. Perusahaan belum memberikan garis waktu khusus untuk dimulainya kembali hasil penuh.
Dua sumber yang diberi pengarahan singkat tentang operasi Aramco mengatakan pengembalian penuh ke produksi normal "mungkin memakan waktu berbulan-bulan."
Indeks Volatilitas Minyak Mentah Chicago Board Options Exchange, ukuran premi opsi berdasarkan pergerakan dana yang diperdagangkan di bursa minyak AS, naik menjadi 77,17, level tertinggi sejak Desember tahun lalu.
Serangan-serangan yang kemudian memukul pasokan kemungkinan akan membuat harga naik untuk beberapa waktu. Aktivitas pemesanan kargo minyak mentah dan tarif pengiriman untuk pengiriman dari Gulf Coast AS naik selama akhir pekan dan pada Senin (16/9/2019), kata seorang broker kapal. Harga minyak mentah regional Teluk yang diperdagangkan secara bebas (over-the-counter) lebih tinggi dalam mengantisipasi tawaran pengiriman lebih banyak dari AS.
Amerika Serikat mengekspor sekitar tiga juta barel minyak per hari dan dapat meningkatkan pengiriman lebih lanjut.
Importir utama minyak mentah Saudi, seperti India, Cina, Jepang, dan Korea Selatan, akan menjadi yang paling rentan terhadap gangguan pasokan. Korea Selatan telah mengatakan akan mempertimbangkan melepaskan minyak dari cadangan strategisnya.
Presiden AS Donald Trump menyetujui pelepasan minyak dari Cadangan Minyak Strategis AS, yang menampung lebih dari 640 juta barel minyak mentah.
Ekspor minyak Saudi akan berlanjut seperti biasa minggu ini karena kerajaan memanfaatkan stok dari fasilitas penyimpanannya yang besar, sumber industri menjelaskan tentang perkembangan tersebut kepada Reuters. Namun, serangan itu telah menimbulkan kekhawatiran tentang berapa lama kerajaan akan mampu mempertahankan pengiriman minyaknya.
Lonjakan awal harga minyak pada Minggu (15/9/2019) adalah yang terbesar untuk minyak mentah Brent sejak krisis Teluk 1990-1991, sebelum mundur kembali karena berbagai negara mengatakan mereka akan memanfaatkan pasokan darurat untuk menjaga dunia dipasok dengan minyak.
ANTARA