Defisit Transaksi Berjalan Rawan Melebar

Sabtu, 10 Agustus 2019 08:49 WIB

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo seusai salat Jumat di kompleks kantor Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat, 26 Juli 2019. TEMPO/Francisca Christy Rosana

TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia sedang menjaga keseimbangan neraca pembayaran, khususnya defisit transaksi berjalan (CAD) agar tak melebar dari target. Guberur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan hingga akhir tahun defisit diproyeksikan masih berada dalam kisaran 2,5-3 persen. “Kami masih optimistis di sekitar 2,8 persen untuk keseluruhan tahun,” ujar dia, di Jakarta, Jumat 9 Agustus 2019.

Namun, langkah bank sentral untuk mencapai target tersebut diperkirakan tak semulus yang diharapkan. Pasalnya, dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan II 2019 yang dirilis Bank Indonesia kemarin, CAD justru tercatat meningkat dari sebelumnya 7,0 miliar US$ atau 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi 8,4 miliar US$ atau 3,0 persen dari PDB.

Meski demikian, Bank Indonesia meyakini kondisi pelebaran defisit itu tak lain hanya perilaku musiman, yang dipengaruhi oleh musim repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, dampak pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, serta harga komoditas yang turun.

Perry melanjutkan peluang untuk memperbaiki kinerja neraca pembayaran masih terbuka. Hal itu berlandaskan keyakinan bahwa defisit neraca transaksi berjalan masih bisa ditutup dan dibiayai oleh surplus neraca modal. “Aliran modal asing sampai 8 Agustus kemarin mencapai Rp 179,6 triliun, rinciannya Rp 113,7 triliun di pasar SBN dan Rp 65,9 triliun di pasar saham,” kata Perry.

Pada triwulan II 2019, surplus neraca modal dan transaksi finansial tercatat sebesar 7,1 miliar US$ yang ditopang oleh aliran masuk investasi langsung dan investasi portofolio. Secara keseluruhan, neraca pembayaran Indonesia hingga semester 1 2019 pun masih mencatat surplus sebesar 0,4 miliar US$.

Advertising
Advertising

Sementara itu, pelemahan mata uang yang sengaja dilakukan oleh Cina di satu sisi juga berpotensi semakin melemahkan kinerja neraca pembayaran dan mendorong pelebaran CAD. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan devaluasi yuan berisiko menyeret nilai tukar rupiah bergerak melemah.

“Banyak investor yang akan melihat adanya devaluasi yuan akan memperburuk neraca perdagangan dan CAD, sehingga sentimen global yang berkembang mereka akan menjauhi emerging market,” ucapnya.

Sebab, devaluasi yuan akan membuat harga barang-barang asal Cina menjadi semakin murah, dan aliran impor mereka ke negara-negara berkembang semakin deras. “Pemerintah harus segera bergerak serius mengerem impor dan merespon dengan mempercepat akselerasi industri substitusi impor,” kata Bhima. “Jika tidak, neraca perdagangan dan CAD akan semakin menjadi korban.”

Bhima mengatakan dengan kondisi ini CAD akan semakin sulit berada di kisaran target yang diinginkan BI. “Perkiraannya masih akan di 3 persen seperti tahun lalu.”

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta W. Kamdani menyoroti dampak dari pelemahan yuan terhadap kinerja ekspor Indonesia. “Karena kalau rupiah melemah terdampak pelemahan yuan dan perang dagang, kami khawatir barang-barang asal Indonesia tidak kompetitif, sebab biaya impor input produksi kami jadi semakin tinggi,” ucapnya.

Dia menekankan dalam mekanisme pasar, supplier yang tidak kompetitif akan tersingkir dan tergerus dari pasar. “Jadi kami berharap agar nilai tukar rupiah tetap stabil bahkan bisa bisa mendorong nilai tukar kembali ke level di bawah Rp 14.000 per dolar AS, ini perjuangan sulit tapi harus diupayakan jika ingin mempertahankan pertumbuhan industri domestik dan daya saing kita di pasar global.”

Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo meminta pelaku usaha dan pasar keuangan domestik tak mengkhawatirkan devaluasi yuan secara berlebihan. “Sebab pelemahan yang dilakukan Cina itu tidak dapat dilakukan terus menerus karena akan berdampak negative pada ekonomi mereka sendiri,” kata dia kepada Tempo.

Dody mengatakan kurs yuan yang terlalu lemah justru akan menekan tingkat konsumsi dan investasi yang saat ini tengah dibutuhkan Cina untuk memitigasi kinerja eksternalnya yang menurun akibat perang dagang.

Dody berujar Bank Indonesia ke depan akan berfokus untuk memitigasi risiko-risiko yang dapat mengganggu perekonomian domestik dan sistem keuangan. “Potensi risiko dari sumber mana pun dihitung oleh kami dan akan dipertimbangkan dalam perumusan bauran kebijakan,” ujarnya.

Dia menegaskan bank sentral juga akan terus berada di pasar untuk memastikan nilai tukar rupiah tetap terjaga sejalan dengan nilai fundamentalnya. “Termasuk di dalamnya intervensi di pasar spot dan pasar Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), menjaga likuiditas memadai dan memastikan mekanisme pasar beroperasi dengan baik,” kata Dody.

Simak berita tentang defisit hanya di Tempo.co

Berita terkait

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

7 jam lalu

Kenaikan BI Rate Berpotensi Tekan Penyaluran Kredit

Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menjadi 6,25 persen bisa berdampak pada penyaluran kredit.

Baca Selengkapnya

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

8 jam lalu

BI Perluas Cakupan Sektor Prioritas KLM untuk Dukung Pertumbuhan Kredit

BI mempersiapkan perluasan cakupan sektor prioritas Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM).

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

22 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

2 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

3 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

3 hari lalu

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.

Baca Selengkapnya

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

3 hari lalu

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 32 poin ke level Rp 16.187 per dolar AS dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

3 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

3 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

4 hari lalu

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.

Baca Selengkapnya