Ada Ancaman Perang Dagang, BI Disarankan Tak Turunkan Suku Bunga

Sabtu, 3 Agustus 2019 08:41 WIB

Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo memberikan keterangan kepada wartawan saat Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, Rabu, 15 Agustus 2018. Bank Indonesia memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuannya atau BI 7-Day Reverse Repo Rate 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen menjadi 5,5 persen. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute, M. Rifki Fadilah, menyarankan Bank Indonesia tak buru-buru menurunkan suku bunga acuan. Sebab, menurut dia, posisi negara belum aman lantaran masih ada ancaman eskalasi ketegangan perang dagang Amerika Serikat dengan Cina.

Selama ini, kata dia, upaya BI menurunkan bunga acuan dari 6 persen menjadi 5,75 persen dan melorotkan giro wajib minimum atau GMW dari 6,5 persen ke 6 persen sudah dianggap akomodatif menstimulus perekonomian nasional. “Keputusan BI untuk mengerek turun bunga acuan dan GWM sudah mengoreksi efek samping dari operasi pasar terbuka,’’ katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 3 Agustus 2019.

Sebelumnya, rencana itu diwacanakan setelah The Fed mengerek turun bunga acuannya. Rifki memandang, selain ada ancaman perang dagang, Indonesia tengah menghadapi problem domestik.

Rifki mengatakan saat ini peningkatan defisit transaksi berjalan atau current account deficit alias CAD pada kuartal kedua sejalan dengan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri. Nantinya, transaksi berjalan akan mendapat tekanan yang lebih berat karena defisit neraca perdagangan barang pada kuartal II 2019 lebih besar ketimbang periode yang sama sebelumnya.

Defisit neraca berjalan pada kuartal II 2019 tercatat US$ 1,87 miliar. Sedangkan tahun lalu pada periode yang sama ialah US$ 1,45 miliar.

“Defisit transaksi berjalan yang melebar akan lebih berat akibat adanya peningkatan defisit neraca pendapatan primer serta surplus neraca perdagangan barang yang menurun,” tuturnya.

Adapun peningkatan defisit neraca perdagangan membuat Indonesia membutuhkan kenaikan permintaan valuta asing dalam jumlah substansial yang berpotensi menguras cadangan devisa. Lebih lanjut, bila defisit transaksi berjalan tak dapat diimbangi dengan pasokan devisa dari portofolio keuangan seperti hot money, neraca pembayaran Indonesia dianggap akan semakin buruk.

Kondisi ini, kata dia, mengganggu keseimbangan eksternal karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang devisa yang masuk. Situasi tersebut juga dianggap tidak terlalu baik bagi perekonomian domestik.

Maka, kata Rifki, dengan tetap menahan suku bunga acuan, pasar keuangan domestik bakal memiliki daya saing untuk menarik arus modal asing masuk guna mempersempit defisit neraca dagang.

"Karenanya, saya menyarankan BI tetap menahan suku bunga acuan supaya pasar keuangan domestik memiliki daya saing," katanya. Hal tersebut merupakan insentif untuk menarik arus modal asing masuk di saat negara-negara lain menurunkan suku bunga acuannya.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Berita terkait

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

1 hari lalu

Tak Hanya Naikkan BI Rate, BI Rilis 5 Kebijakan Moneter Ini untuk Jaga Stabilitas Rupiah

Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan lima aksi BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Baca Selengkapnya

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

1 hari lalu

Bos BI Yakin Rupiah Terus Menguat hingga Rp 15.800 per Dolar AS, Ini 4 Alasannya

Gubernur BI Perry Warjiyo yakin nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menguat sampai akhir tahun ke level Rp 15.800 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

2 hari lalu

Inflasi April Hanya 0,25 Persen, BI Ungkap Pemicunya

BI menyebut inflasi IHK pada April 2024 tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,51 persen, yakni 0,25 persen mtm.

Baca Selengkapnya

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

3 hari lalu

Rupiah Ditutup Menguat ke Level Rp16.185, Analis: The Fed Membatalkan Kenaikan Suku Bunga

Data inflasi bulan April dinilai bisa memberikan sentimen positif untuk rupiah bila hasilnya masih di kisaran 3,0 persen year on year.

Baca Selengkapnya

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Mengecewakan, Sejumlah Saham Bank Big Cap Rontok

3 hari lalu

Samuel Sekuritas: IHSG Sesi I Ditutup Mengecewakan, Sejumlah Saham Bank Big Cap Rontok

IHSG turun cukup drastis dan menutup sesi pertama hari Ini di level 7,116,5 atau -1.62 persen dibandingkan perdagangan kemarin.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

4 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

5 hari lalu

Lagi-lagi Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini di Level Rp 16.259 per Dolar AS

Kurs rupiah dalam perdagangan hari ini ditutup melemah 4 poin ke level Rp 16.259 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

5 hari lalu

Meski BI Rate Naik, PNM Tak Berencana Naikkan Suku Bunga Kredit

PNM menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga dasar kredit meskipun BI telah menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen.

Baca Selengkapnya

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

5 hari lalu

BRI Klaim Kantongi Izin Penggunaan Alipay

Bank Rakyat Indonesia atau BRI mengklaim telah mendapatkan izin untuk memproses transaksi pengguna Alipay.

Baca Selengkapnya

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

5 hari lalu

BNI Sampaikan Langkah Hadapi Geopolitik Global dan Kenaikan Suku Bunga

PT Bank Negara Indonesia atau BNI bersiap menghadapi perkembangan geopolitik global, nilai tukar, tekanan inflasi, serta suku bunga.

Baca Selengkapnya