4 Kritik Faisal Basri Sebelum Dukung Jokowi
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Kodrat Setiawan
Minggu, 14 April 2019 05:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Faisal Basri resmi menyatakan dukungannya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Sikap itu ia sampaikan secara terbuka melalui akun Twitter resmi @FaisalBasri.
Baca juga: Faisal Basri Dukung Jokowi, TKN: Kami Sambut yang Bukan Pemimpi
“Akal sehat dan kesadaran nurani yang akhirnya membimbing saya memilih Jokowi,” cuit Faisal, Sabtu, 13 April 2019.
Padahal, sebelumnya, Faisal kerap melontarkan kritik pedas kepada pemerintah ihwal kebijakan perekonomian. Tempo mencatat setidaknya ada empat kritik ekonomi yang dilontarkan Faisal beberapa waktu ke belakang.
Utang Pemerintah
Faisal sempat menyoroti perihal utang pemerintah melalui tulisan di laman pribadinya, faisalbasri.com. "Memang utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo meningkat relatif pesat. Selama kurun waktu 2014-2018 utang pemerintah pusat naik 69 persen, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun," kata Faisal dikutip dalam laman tersebut yang diunggah pada Ahad, 27 Januari 2019.
Faisal mencatat peningkatan utang itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55 persen. Namun, apakah persoalan utang tersebut sudah sangat parah, Menurut Faisal, jumlah utang yang mencapai Rp 4.416 triliun tersebut harus dilihat menyeluruh.
Salah satunya, jumlah utang harus dibandingkan dengan kemampuan perekonomian menghasilkan pendapatan yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Jika PDB meningkat maka kemampuan pemerintah untuk menarik pajak juga meningkat, sehingga dapat digunakan membayar bunga dan cicilan utang.
Kendati demikian, Faisal mencatat nisbah utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) Indonesia tergolong masih sangat rendah, tak sampai 30 persen. "Bandingkan dengan Jepang yang nisbah utangnya 250 persen PDB. Bandingkan juga dengan Amerika Serikat yang nisbah utangnya 105 persen PDB," kata Faisal.
<!--more-->
Indonesia Pengimpor Gula Terbesar
Faisal mengaku kaget dengan data teranyar bahwa Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia. Pasalnya, selama ini, ia biasa melihat Indonesia bertengger di posisi ke-3 atau ke-4.
Berdasarkan data statistik, Indonesia menjadi juara impor gula pada periode 2017-2018 dengan besar impor 4,45 juta metrik ton. Angka itu diikuti oleh Cina di posisi kedua dengan 4,2 juta metrik ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta metrik ton.
Faisal lantas mengutip tren lonjakan impor gula melalui data dari Badan Pusat Statistik. Data tersebut menunjukkan bahwa impor gula ke Indonesia mulai melonjak sejak 2009 setelah sebelumnya berhasil merosot. Kala itu, Indonesia mengimpor 1,4 juta ton gula ke dalam negeri.
Angka impor itu naik perlahan sebelum akhirnya meroket pada 2016. Pada periode tersebut Indonesia mengimpor 4,8 juta ton gula atau naik 1,4 juta ton ketimbang tahun sebelumnya. "Itu meroket, kalau dilihat grafiknya, panjat tebing saja kalah," ujar Faisal Basri di Restoran Rantang Ibu, Jakarta, Senin, 14 Januari 2019. Selepas periode itu sampai sekarang angka impor gula Indonesia selalu di atas 4,5 juta ton per tahun.
Yang membuat Faisal heran adalah adanya kenaikan impor yang signifikan pada periode tersebut. Padahal grafik konsumsi domestik tidak ada peningkatan secara tajam. "Naik, tapi tidak tajam," kata dia. Walau, di sisi lain ada penurunan produksi di dalam negeri.
<!--more-->
Pembangunan Infrastruktur Ugal-ugalan
Dua ekonom senior, Faisal Basri dan Rizal Ramli menyampaikan kritik mengenai pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Keduanya memandang, pembangunan infrastruktur saat ini masih terkesan ugal-ugalan dan kurang melalui perencanaan yang matang.
Faisal Basri mengkritik pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang berbasis di daratan. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim yang wilayahnya lebih banyak perairan. "Jadi harusnya, infrastruktur laut-lah yang jadi backbone (tulang punggung), jadi kalau bangun infraatruktur itu jangan meniru China atau Malaysia (berbasis darat)," kata Faisal dalam diskusi di Restoran Batik Kuring, SCBD, Jakarta, Kamis, 28 Februari 2019.
Walhasil, kata Faisal Basri, biaya logistik yang seharusnya turun jika ada infrastruktur laut, terpaksa bertahan di level yang cukup tinggi. Dari data yang dilansir Nikkei, Faisal menyebut biaya logistik Indonesia 25 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Sementara Vietnam dan Thailand hanya 20 persen dan 15 persen.
<!--more-->
Sektor Pertanian Turun, Industri Memble
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri menyampaikan tantangan Indonesia dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Faisal mengatakan salah satu yang menjadi masalah, Indonesia tidak pernah menjadi negara industri, melainkan langsung ke jasa.
"Ini masalahnya. Industrinya terus mengalami penurunan. Bahkan pernah sektor industri manufaktur di kuartal 3 sudah di bawah 20 persen," kata Faisal dalam Tempo Economic Briefing di Ballroom II The Ritz Carlton, Jakarta, Kamis, 15 November 2018.
Sementara, kata Faisal sektor pertanian turunnya cepat, tapi pekerja di sektor pertanian tidak turun-turun secara signifikan. Bila dilihat dari komposisi tenaga kerja, sekitar 30 persen masih di pertanian, tapi di industri hanya 14,7 persen.
Menurut Faisal, saat ini seharusnya transformasi terjadi di sektor pertanian.
"Produktivitasnya naik, tidak butuh lahan lebih banyak, nilai tambah sektor pertaniannya turun," tuturnya. Tapi kenyataannya sekarang, pekerja di sektor pertaniannya pindah ke industri. "Tapi industrinya memble, sehingga mereka larinya ke sektor jasa, tapi bukan jasa modern," katanya.
Faisal Basri mengatakan jumlah industri besar dan menengah mencakup kira-kira 90 persen sumbangan terhadap nilai tambah dalam PDB. Sedangkan industri kecil hanya 10,6 persen terhadap PDB.
CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY | DIAS PRASONGKO | HENDARTYO